REPUBLIKA.CO.ID, BIREUEN--Ini layak diacungi jempol. Atlet balap sepeda wanita asal Kabupaten Aceh Tengah ternyata lebih nyaman mengenakan jilbab saat berlomba pada Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) XI Aceh di Kabupaten Bireuen.
"Saya justru merasa risih jika membuka jilbab dan merasa tidak nyaman," tutur Nur Wahyu Apriani, peraih medali emas di nomor jalan raya 100 km putri di Bireuen, Kamis (22/7).
Selain Riri panggilan akrab Nur Wahyu, enam pembalap Aceh Tengah lainnya juga mengenakan jilbab, karena memang sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam, juga sudah terbiasa.
Menurut Riri, ternyata tidak semua atlet wanita balap sepeda peserta Porprov memakai jilbab. Bahkan, lanjut dia, ada yang memakai baju ketat, padahal Aceh merupakan daerah yang menerapkan syariat Islam.
Namun demikian, memakai jilbab bukan penghalang untuk berprestasi, buktinya pembalap wanita Aceh Tengah bisa meraih dua medali emas dari perorangan dan beregu.
"Mudah-mudahan kami masih bisa menambah medali emas lagi, karena ada beberapa nomor belum dipertandingkan, seperti jalan raya 60 Km, cross country, downhill dan BMX," kata Riri.
Hal yang sama juga dikemukakan pembalap lainnya Ulfa Hidayati. Mahasiswa semester empat Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam (STAI) Universitas Gajah Putih Takengon itu menyatakan, dirinya justru tidak nyaman bila tidak memakai jilbab. "Kalau tidak berjilbab sepertinya ada yang kurang, sehingga saat berlomba tidak ada masalah," ujar Ulfa yang meraih medali emas nomor beregu.
Menanggapi adanya atlet wanita lain yang tidak berjilbab, ia menyatakan itu hak pribadi mereka, tapi mereka sudah melanggar agama, apalagi Aceh sudah memberlakukan syariat Islam. ''Seharusnya panitia lebih tegas, jangan gara-gara olahraga melakukan pelanggaran agama. Saya menilai Pemerintah Aceh tidak tegas menjalankan syariat Islam di daerah ini. Lihat saja atlet sepeda yang bertanding di Porprov tanpa jilbab dan memakai pakaian ketat secara bebas," keluhnya.
Para atlet Aceh Tengah lainnya, yakni Inike Putri Sirikit, Mailani Febriana, Isna Dewi, Fitri Diana, dan Ellisa Loini, rata-rata mengaku sudah berjilbab sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Dengan berjilbab, anak-anak sepeda yang tergabung dalam komunitas Central Atjeh Bicycle Community (CABC) ini, merasa mendapat nilai lebih. "Dengan berjilbab, kami lebih disegani, harus lebih santun dan tentu saja bersyariat," sebut Riri lagi.
Berbagai kendala tidak jalannya syariat Islam, menurut pendapat atlet ini lebih disebabkan sikap tidak tegas pemerintah daerah Aceh. Di sisi lain, kehadiran atlet asal Takengon yang berjilbab menjadi warna tersendiri di Porprov XI Bireuen.
Saat melintas di jalan raya, banyak warga Bireuen yang langsung tahu kalau atlet sepeda berjilbab itu berasal dari Aceh Tengah. Ini karena dari daerah lain tidak mengenakan jilbab.