Oleh A Riawan Amien
Allah SWT berfirman, "... Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.…" (QS Hud [11]: 61).
Kini, semakin banyak perusahaan yang menyandarkan aktivitasnya pada aspek spiritualitas (menjadi spiritual company). Berkebalikan dengan perusahaan yang mengabaikan faktor spiritual dalam operasionalnya, perusahaan-perusahaan yang melandaskan aktivitasnya pada nilai-nilai spiritual terbukti mampu bertahan dan berkembang secara baik.
Secara umum, diidentifikasikan ada enam manfaat yang didapat perusahaan dengan menyandarkan bisnisnya pada aspek spiritualitas. Pertama, perusahaan akan jauh dari berbagai kecurangan (fraud) yang mungkin terjadi akibat 'menghalalkan segala cara'. Karena, dari sinilah kebangkrutan perusahaan dimulai.
Kedua, meningkatnya produktivitas dan kinerja perusahaan. Ketiga, terbangunnya suasana kerja yang harmonis atau hadirnya sinergi di antara karyawan dan pimpinan perusahaan. Keempat, meningkatnya citra (image) positif perusahaan. Kelima, perusahaan menjadi tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan (sustainable company). Keenam, menurunkan perpindahan (turnover) karyawan.
Sudah selayaknya para pebisnis, apalagi pengusaha Muslim, menerapkan budaya manajemen spiritual, yakni menempatkan nilai-nilai universalitas dalam tujuan pencapaian bisnis. Dalam konsep ini, definisi manajemen berubah dari sekedar getting things done through the people menjadi getting God's will done by the people. Tugas memakmurkan hidup melalui kejayaan organisasi-seperti ditegaskan dalam surah Hud ayat 61 di atas-dipandang sebagai tugas suci.
Spirit ibadah kepada Allah menjadi landasan bisnis yang sangat kokoh. Karena, setiap aktivitas mendapatkan keuntungan yang selalu berkait erat kepada Sang Pencipta (Creator). Itulah sebabnya tatanan kerja yang terbangun menjadi lebih sakral dibanding sekadar mendapatkan keuntungan finansial semata. Kekuatan inilah yang menjadi turbin penggerak semangat berjuang para penganutnya (man). Karena, setiap langkah perjuangan menjadikan catatan sejarah kehidupan yang abadi.
Yang pasti, landasan peribadahan dalam perjuangan di lahan bisnis harus menuju pada terciptanya dan terbaginya kemakmuran secara adil (creation) kepada semua pihak yang terlibat. Yaitu, crew (karyawan), customer (pelanggan), capital provider (pemilik modal), dan community (masyarakat).
Secara sadar, perusahaan diposisikan sebagai sebuah organisme yang berdiri di atas akar rumput dan menyandang misi spiritualitas. Kehadirannya bukan hanya sekadar untuk mendapatkan keuntungan bagi pribadi-pribadi semata. Lebih dari itu, keberadaannya bertujuan untuk mengangkat marwah manusia secara keseluruhan. Pendekatannya bukan hanya pragmatis semata. Jauh dari itu, paradigma yang dibentuk adalah membangun peradaban.