REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Interaksi budaya kerap memicu persentuhan. Ada pertemuan antara budaya yang saling mempengaruhi satu sama lain. Demikian pula, persentuhan pemerintahan Islam Turki Usmani dengan Eropa. Di sisi lain, transfer budaya dan peradaban juga muncul dari karya-karya intelektual Muslim yang dipelajari Eropa.
Sultan Mehmed II, penguasa Turki Usmani, menjadi salah satu aktor yang mendorong terjadinya persentuhan budaya dan peradaban itu, khususnya dalam bidang seni. Namun, seorang cendekiawan Barat, Gunsel Renda, melalui tulisannya, The Ottoman Empire and Europe: Cultural Encounters, mengungkapkan, peran sang sultan tak banyak tersingkap.
Selain mengembangkan budaya Islam, Mehmed II juga dikenal sebagai sosok yang tertarik dengan sejarah masa lalu dan budaya Barat. Ketertarikan itu telah sejak belia tertanam di dalam benaknya. "Ia merupakan penguasa Turki Usmani pertama yang menjalin pertalian budaya dengan Barat," ujar Renda.
Penerimaan terhadap budaya lain dan ilmu pengetahuan, bisa tecermin dari koleksi buku di perpustakaan pribadinya. Di rak-rak perpustakaannya, bertebaran buku ilmiah yang ditulis dalam beragam bahasa. Buku itu juga sangat beraneka, dari kajian geogarfi, kesehatan, sejarah, hingga filsafat.
Bibel dan karya-karya Yunani klasik menjadi koleksi perpustakaan pribadi Mehmed II itu. Langkah Mehmed II membuka diri menjalin interaksi memicu sejumlah ilmuwan Barat memberikan apresiasi kepadanya. Giorgios Amirutzes dari Trabezond, misalnya, membuat peta dunia untuk sultan dengan menggunakan Geographike karya Ptolemeus.
Di Istana Topkapi, ada salinan Geographike dalam bahasa Latin serta terjemahan buku tersebut dalam bahasa Italia oleh Berlinghieri Fiorentino yang didedikasikan untuk Mehmed II. Pribadi Mehmed II, pandangan politik, dan sikapnya, akhirnya menebarkan citra Turki di dunia seni Eropa.
Sejumlah seniman Eropa membuat potret Mehmed II sebagai bentuk apresiasi. Di sisi lain, ia meminta dibuatkan potret dirinya. Ia pernah meminta bantuan sejumlah seniman melalui penguasa Italia. Costanza da Ferrara menjadi seniman Italia pertama yang datang ke istana Turki Usmani. Ia dikirim oleh Raja Naples, Ferdinand Ferrante II.
Hubungan Turki Usmani-Eropa yang berlangsung selama berabad-abad, terjadi di tengah perkembangan politik dan ekonomi di kedua belah pihak. Dalam bidang perdagangan, karpet Turki juga banyak diimpor oleh Eropa. Bahkan, motif rancangan pada karpet tak jarang mengikuti perkembangan seni, baik di Eropa maupun Turki Usmani.
Dengan latar belakang ini, di antara komunitas Muslim, Turki memiliki hubungan paling dekat dengan Eropa. Hubungan erat tersebut tecermin pula dalam seni dan budaya. Pada abad sebelumnya, pengaruh Muslim di bidang kuliner merambah Eropa dan menjadi rujukan.
Merujuk pada pernyataan Nabi Muhammad SAW bahwa tubuh memiliki haknya yang harus dipenuhi, dokter dan ilmuwan Muslim menyusun sejumlah buku yang terkait dengan makanan sehat. Demikian pula, dengan cara penyajiannya. Misalnya, Ibnu Sa’id alQurtubi pada abad ke-10 dengan karyanya Kitab Khalq al-janin wa Tadbir al-hibala.
Buku ini membahas diet bagi janin dan ibu yang sedang hamil. Lalu, ada Abu Marwan Ibn Zuhr (10921161) dengan karyanya, Al-Taysir fi ‘l-mudawat wa-‘ltadbir Kitab al-Aghdia. Ini merupakan buku tentang nutrisi. Buku yang membahas masakan secara khusus juga banyak jumlahnya.
Di antaranya adalah Kanz al-fawa’id fi tanwi’ almawa’id yang ada di abad ke-10. Penulisnya anonim dan buku ini diperkirakan dari Mesir. Seorang Muslim Spanyol pada abad ke-12 bernama Ibnu Razin Attujibi, menyusun sebuah buku berjudul Fadhalat al-Khiwan fi Atayyibat at-Ta’am wa-‘l-‘Alwan.
Selain itu, terdapat penulis lainnya, yaitu Mohammed al-Baghdadi, cendekiawan dari Irak pada abad ke-13, dengan karyanya Kitab at-Tabikh. Pada abad yang sama, Dawud al-Antaki dari Suriah, meluncurkan buku berjudul Tadhkira. Demikian pula, dengan Ibnu Adim yang juga dari Suriah, memiliki karya Wasla ‘l-habîb fi wasf al-tayyibât wa at-thibb.
Menurut Zohor Idrisi, seorang peneliti di Foundation for Science, Technology, and Civilization, dalam tulisannya The Influence of Islamic Culinary Art on Europe, pada abad ke-13, buku-buku yang disusun oleh dokter dan ilmuwan Muslim itu menarik perhatian, baik para penguasa maupun gereja di Barat. Rasa tertarik itu kian meningkat saat wilayah Ferrara, Salerno, Montpellier, dan Paris menjadi pusat studi karya kedokteran Muslim. Tak berhenti sampai di situ, di lingkaran penguasa dan aristokrat Eropa, permintaan makanan yang berasal dari dunia Muslim serta rempah mengalami peningkatan.
Sayangnya, ujar Idrisi, para aristokrat Eropa tak mengindahkan aturan diet dari konsumsi sayuran dan daging. Akibatnya, mereka diserang encok. Masuknya manisan, selai, dan makanan yang diawetkan ke Eropa melahirkan masalah baru lainnya bagi mereka, yaitu konstipasi. Mereka mengabaikan rekomendasi dokter Muslim soal makanan.
Namun, ada pula yang benar-benar mengikuti aturan pola makanan yang termuat dalam buku-buku karya Muslim itu. Di antaranya adalah Ratu Cristina yang mengua sai Denmark, Swedia, dan Norwegia. Ia tak mengalami permasalahan seperti yang dihadapi oleh para penguasa lainnya.