Sebuah fakta mengejutkan dikemukakan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPOM-MUI), awal April lalu. Lembaga itu mengumumkan hanya sebagian kecil obat yang selama ini beredar di Tanah Air yang mengantongi sertifikat halal. Kalau pun ada yang sudah bersertifikat halal, itu lebih banyak berupa obat-obat tradisional.
Kondisi itu tentu saja sangat memprihatinkan. Masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim patut khawatir bahwa obat-obatan yang mereka konsumsi sebagai salah satu alat penyembuh berbagai penyakit, ternyata masih diragukan kehalalannya.
LPPOM MUI pun bertekad membangkitkan kepedulian para produsen obat untuk mengikuti proses sertifikasi halal. Selain itu, umat juga didorong untuk lebih peduli dengan kehalalan dari obat yang dikonsumsinya. Betapa tidak. Ajaran Islam sangat memerhatikan aspek kesehatan. Umat diminta melindungi diri dari serangan beragam jenis penyakit, antara lain dengan membuat obat-obatan.
Rasulullah SAW pernah bersabda, "Allah telah menurunkan penyakit dan obat, serta menjadikan obat bagi setiap penyakit, maka, berobatlah dan janganlah berobat dengan benda yang haram." Uraian hadis tersebut secara terang benderang menekankan pentingnya berobat jika suatu saat terkena penyakit, akan tetapi harus dengan obat yang terjamin kehalalannya.
Akan tetapi, menurut Direktur Eksekutif LPPOM MUI, Lukmanul Hakim, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, penelusuran kehalalan bahan penyusun produk, termasuk obat, menjadi sulit. Terlebih lagi, perspektif di kalangan produsen dalam menghasilkan obat-obatan yang halal, sangatlah langka. "Hal ini antara lain disebabkan hampir tidak adanya tuntutan dari konsumen kepada produsen obat untuk membuat obat halal," papar Lukman.
Mengenai proses produksi, dalam dunia industri farmasi, terdapat dua tahap, yakni industri hulu dan hilir. Industri hulu akan memproduksi bahan-bahan komponen obat atau additive (bahan tambahan).
Misalnya cangkang kapsul, pewarna obat, pemanis dan pengemulsi. Adapun industri hilir yakni industri yang mengemas bahan-bahan baku dan additive tadi hingga menjadi produk obat untuk dijual di pasaran. Nah, untuk memperoleh sertifikasi halal, maka mulai dari industri hulu sampai hilir, harus terjaga kehalalannya. Semua bahan harus memenuhi persyaratan halal.
LPPOM MUI kemudian menjelaskan titik kritis obat. Antara lain gelatin yang kemungkinan bisa terbuat dari hewan haram (babi) dan banyak digunakan sebagai bahan baku cangkang kapsul atau penyalut obat tablet. Selain itu ada pula alkohol untuk pelarut obat batuk.
Di samping itu, pada pembuatan berbagai jenis vaksin, dimungkinkan penggunaan ginjal kera, sel kanker manusia, serum dari sapi serta bahan enzim. Ada pula janin manusia yang sengaja diaborsi untuk membuat vaksin cacar air, hepatitis A, dan MMR serta MRC 5 dan WI 38. Campuran bahan hewani pada jamu seperti jeroan ayam atau empedu kambing yang tidak disembelih secara Islami, berpotensi dijadikan bahan baku obat obatan. Juga dari isi obat yang terdiri dari laktosa, gelatin, pun bahan yang mengandung asam lemak semisal stereat, oleat, palmitat yang berasal dari hewan non-halal.
Sebenarnya, pelarangan mengonsumsi produk yang tidak halal sudah ditegaskan melalui Fatwa MUI. Musyawarah Nasional II, 26 Mei 1 Juni 1980 serta Sidang pada 1 Juni 1980 yang dipimpin Ketua MUI Prof Dr Hamka, menetapkan fatwa, pertama, setiap makanan, minuman dan obat yang jelas bercampur dengan bahan haram/najis, maka hukumnya haram. Kedua, setiap makanan, minuman dan obat yang diragukan bercampur dengan barang haram/najis hendaknya ditinggalkan.
Demikian pula dalam Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) RI nomor HK 00.05.1.23.3516 tanggal 31 Agustus 2009, telah mengatur izin edar produk obat, obat tradisional, kosmetik, suple men makanan dan makanan yang bersumber, mengandung, dari bahan tertentu dan atau mengan dung alkohol. Terkait hal tersebut, Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Maulana Hasanuddin, menga takan, MUI hendak mengingatkan kembali agar umat hanya mengonsumsi obat yang halal. "Kita juga meminta supaya para dokter membuat resep obat yang halal," tutur Kiai Hasanudin dalam laman Jurnal Halal.
Bagaimana dengan pendapat bahwa pengguna an obat berbahan haram dibolehkan karena kedaruratan? LPPOM MUI berpendapat, berdasarkan realitas dan keputusan dari dokter terpercaya, maka sesungguhnya tidak ada yang namanya darurat secara medis.
Seperti pada hadis sahih Muslim dari Thariq bin Suwaid al Ja'fi, diriwayatkan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi SAW tentang khamr. Maka Rasulullah melarangnya atau tidak senang ia membuat minuman itu. Ia berkilah bahwa ia membuatnya untuk dijadikan obat. Rasulullah pun menanggapi, "Khamr itu bukan obat, melainkan penyakit."
Dalam kondisi belum banyaknya obat bersertifikasi halal, auditor LPPOM MUI, Chilwan Pandji mengatakan, terdapat jenis obat yang bisa dikonsumsi lantaran peluang memakai bahan haram lebih rendah, yakni obat generik.
Menurutnya, jenis obat ini kendati bahan pengisinya berasal dari luar negeri, tapi dikemas di dalam negeri. Selain itu, obat generik berharga murah, dan dari segi kehalalan kecil peluangnya memakai bahan haram. "Kalaupun jenisnya kapsul, itu cenderung berasal dari produsen cangkang kapsul yang telah bersertifikasi halal."