JAKARTA--Tim advokasi kebebasan beragama lebih mendukung pendapat para saksi ahli terkait uji materi Undang Undang (UU) Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama. "Kami menilai saksi ahli dari MK jauh lebih netral dan tidak membawa pesan pihak terkait," kata kuasa hukum tim advokasi kebebasan beragama, M Khoirul Anam, nya di gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Tim advokasi kebebasan beragama, Kamis (1/4), menyerahkan kesimpulan akhir uji materi UU tersebut. Keputusan sidang uji materi ini direncanakan akan digelar pertengahan April.
Khoirul melihat, dari fakta persidangan yang terjadi selama empat bulan terakhir ini, banyak ahli yang setuju bahwa negara tidak boleh mencampuri urusan agama. Pengaturan oleh negara tentang keagamaan dan keyakinan tidak boleh mengurangi substansi kebebasan berkeyakinan.
Dia menjelaskan, dari 16 saksi yang dihadirkan oleh MK, semuanya sepakat bahwa UU yang sedang diujimaterikan tidak konstitusional. Namun tidak semuanya sepakat UU itu dicabut, sebagian besar hanya menyarankan dilakukan revisi.
Seperti dalam ringkasan kesimpulan mereka, Emha Ainun Najib berpendapat, bahwa UU itu tidak soleh dan banyak mudharatnya dan plurarisme adalah sifat Tuhan, sehingga tidak bisa dipaksakan untuk seragam. Seniman itu merekomendasikan dilakukan revisi. Sastrawan Taufik Ismail pun menilai, bahwa UU tersebut seperti pagar yang sudah usang dan perlu diperbaiki bersama.
Pada intinya, ada lima poin yang menjadi pokok kesimpulan akhir para pemohon uji materi itu. Pertama, UU itu justru memberikan wewenang pada negara untuk mencampuri keyakinan dan agama. Kedua, UU tersebut tidak memberikan kepastian hukum. Ketiga, munculnya tiga bentuk diskriminasi akibat dari UU itu. Keempat, melanggar persamaan di depan hukum. Kelima, tidak memenuhi persyaratan dan pembatasn seperti yang dimaksud dalam UUD 1945 pasal 28 J.
Ketika ditanya tentang dampak yang akan muncul jika UU tersebut dicabut, Khoirul justru merasa yakin bahwa bentrokan atau dampak negatif hanya akan sedikit yang muncul. "Seperti yang dikatakan ahli, chaos hanya 2 persen saja," ujarnya.
Jika memang benar-benar terjadi kekacauan, tutur Khoirul, pemerintah sudah mempunyai aturan untuk menghadapinya, yaitu Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). "Meski saya tidak berharap ada kekacauan tapi kita masih punya KUHP," katanya.