Ahad 24 Jun 2012 12:32 WIB

Yang Esa dan Yang Majemuk (3)

Ilustrasi
Foto: multiply.com
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Allah SWT mempunyai ketunggalan yang satu. Epistimologi tasawuf lebih banyak mengakomodasi metode khudhuri, karena antara objek dan subjek peneliti menyatu atau tak berjarak.

Sedangkan epistimologi filsafat/kalam lebih banyak mengakomodasi metode hushuli karena pola dialektis keilmuannya selalu berjarak antara subjek dan objek peneliti. Dengan memahami kedua pola pendekatan ini maka diharapkan kerancuan pemahaman di dalam masyarakat tentang beberapa konsep keagamaan bisa menjadi jernih (clear).

Jika kita berbicara tentang siapa yang satu dan siapa yang banyak tergantung mazhab mana yang kita gunakan. Mazhab tasawuf sebagaimana diwakili oleh Ibnu Arabi, menganggap pemisahan antara yang satu dan yang banyak sesuatu yang tidak relevan karena tidak ada yang banyak tanpa adanya yang satu.

Dengan kata lain, yang banyak dan heterogen ini tidak lain adalah manivestasi dari Yang Mahatunggal. Hanya saja, menurut Ibnu Arabi, ketunggalan ada dua macam yaitu ketunggalan dari satu (ahadiyyat al-ahad) dan ketunggalan dari banyak (ahadiyyat al-katsrah).

“Berkenaan dengan diri-Nya sendiri, Allah mempunyai Ketunggalan dari yang Satu, tetapi berkenaan dengan nama-nama-Nya Dia mempunyai ketunggalan dari yang Banyak,” kata Arabi.

Ketunggalan dari yang banyak merefleksikan heterogenitas dan pluralitas dalam realitas. Ketunggalan nama-nama menyebabkan satu menjadi dua dan seterusnya. Sehubungan dengan ini menarik disimak apa yang disampaikan oleh Sachico Murata:

“But to say one is to say two, three, and so on, ad infinitum, since one is one-half of two, onethird of three, and so forth. The dualities inherent in this approach are fundamental, since they are already implicit in one, the source of number, and explicit two, the first of the numbers.”

“Tetapi, mengatakan satu sama maknanya dengan mengatakan dua, tiga, dan seterusnya secara ad infinitum, karena satu adalah setengah dari dua, sepertiga dari tiga, dan seterusnya. Dualitas yang inheren dalam perspektif ini bersifat fundamental, karena kesemuanya sudah implisit dalam satu, sumber angka dan bilangan, dan eksplisit dalam dua, yang pertama dari angka dan bilangan.”

Secara matematis juga sangat mudah dijelaskan, sebagaimana juga disinggung dalam artikel terdahulu, bahwa sebanyak apa pun sebuah bilangan pasti berasal dari angka satu. Bukankah angka dua berasal dari angka 1 + 1, bukankah angka tiga berasal dari 3 x 1, angka 1.000 merupakan kelipatan 1.000 dari angka satu, 1 miliar dan angka lebih tinggi selanjutnya, semuanya merupakan kelipatan dari angka satu.

Memang, angka satu tidak sama dengan dua, tiga, 1.000, 1 miliar, dan seterusnya, tetapi bukankah angka-angka itu tetap merupakan himpunan dari angka satu. Jadi, tidak ada artinya kita berbicara angka sebanyak apa pun tanpa berbicara tentang angka satu, karena bukankah angka yang banyak itu tetap merupakan himpunan dari angka satu?

Dengan demikian, membicarakan semua angka itu, sama dengan membicarakan angka satu. Membicarakan yang banyak, heterogen, dan plural sama dengan tetap membicarakan Yang Mahaesa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement