Kamis 07 Dec 2017 16:00 WIB

Potret Kehidupan Mualaf di Inggris

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agung Sasongko
Mualaf
Foto: Onislam.net
Mualaf

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut sebuah penelitian yang dikeluarkan oleh Universitas Swansea pada 2016, terdapat sekitar 100 ribu mua'laf Islam yang baru yang tinggal di Inggris. Jumlah itu tidak termasuk dengan warga asing yang berpindah keyakinan pada Islam dan pindah ke Inggris.

Nuansa fenomena peningkatan jumlah mualaf Islam itu mencoba ditelaah oleh seorang fotografer di Inggris, Matteo Congregalli. Ia membuat sebuah proyek terbaru bernama 'The House of the Prophet'.

Proyek tersebut merupakan sebuah rangkaian foto yang menggambarkan kehidupan mualaf Islam yang baru di Inggris yang modern. Congregalli melakukan perjalanan dari London ke Manchester untuk seri proyek terbarunya itu. Ia mengatakan, proyek tersebut juga dibuatnya untuk mencoba memahami apa yang membuat orang merangkul keyakinan yang baru dan gaya hidup yang berbeda.

Dalam artikelnya, Congregalli menyebutkan bahwa Inggris telah menyaksikan sejumlah serangan yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi mualaf Islam. Misalnya, pembunuhan tentara Inggris Lee Rigby yang dilakukan oleh Michael Adebolajo pada 2013, atau serangan jembatan Westminster yang dilakukan oleh Khalid Masood.
 
Namun, para mualaf yang melakukan serangan tersebut kerap muncul di antara jajaran kelompok yang disebut 'Negara Islam ISIS'. Hal itulah yang kemudian mengarah pada percampuran antara Islam dan terorisme yang berkembang di media.
 
Namun dalam proyek 'The House of the Prophet' tersebut, Congregalli mencoba untuk menggambarkan kehidupan mualaf Islam di Inggris yang sebagian besar hidup damai dan tidak terkait dengan kekerasan. Congregalli menyebutnya sebagai sekelompok orang yang memilih untuk beralih keyakinan dalam pencarian jati diri mereka.
 
Saat Congregalli memotret untuk proyek tersebut, ia bertemu dengan Ahlul Beit Revert Community (ARC), sebuah organisasi non-sektarian, yang merupakan organisasi yang menawarkan jaringan pendukung bagi orang-orang yang baru masuk Islam. Anggotanya kebanyakan Syiah, yang awalnya merupakan mayoritas di Irak, Iran, dan Lebanon. Namun, mereka datang dari berbagai lapisan masyarakat.
 
Melalui organisasi itulah, Congregalli kemudian bertemu dengan Hala, seorang mualaf asal Portugis yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di London. Saat ini, Hala tengah belajar menjadi seorang ulama. Kepada Congregalli, Hala mengatakan bahwa keinginannya untuk masuk Islam berasal dari sebuah mimpi.
 
"Saya terbaring di samping seekor singa putih besar yang melindungi saya dari serigala hitam di sekelilingku," kata Hala.
 
Wanita lainnya bernama Noor mengaku ia masuk Islam setelah bertemu dengan mantan suaminya yang berasal dari Libanon. Noor kini bekerja sebagai spesialis keamanan di London dan memilih untuk tidak mengenakan jilbab. Noor mengatakan, bahwa ia telah mencoba untuk memakai jilbab dalam kesehariannya selama dua tahun ini.
 
"Tapi terlalu sulit untuk pergi keluar sementara semua orang menatap anda, atau pergi wawancara kerja dan ditolak karena apa yang anda kenakan di kepala anda," ujar Noor.
 
Congregalli menyebut banyak anggota masyarakat yang berasal dari warisan budaya Karibia. Menurutnya, beberapa orang yang telah menjadi mualaf sejak lama mengaku bingung dengan konsep trinitas dalam Kristen atau gambaran Kaukasian yang berkulit putih, dan Yesus Kristus yang bermata biru, yang tidak dapat mereka hubungkan.
 
Maryiam, menggambarkan dirinya sebagai seorang mualaf, sebuah kata digunakan untuk menggambarkan orang yang kembali ke agama atau memeluk Islam. Maryiam juga merupakan seorang ilmuwan yang meneliti penyakit neurodegeneratif di salah satu rumah sakit terkemuka di London. Dalam pertemuannya dengan Congregalli, ia mengatakan soal keindahan Al Quran.

"Tidak ada kontradiksi antara sains dan keimanan saya. Alquran adalah teks yang sangat ilmiah," kata Maryiam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement