REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada banyak inkonsistensi yang tampak di hadapan pemilik nama lengkap Carolyn Erazo ini. Tapi, tidak sedikitpun keinginan terlintas di hati Erazo untuk mencari tahu. Ia hanya berpikir, bagaimana kita bisa memercayai apa yang tidak kita ketahui?
Apakah semua peristiwa benar-benar terjadi seperti yang dikisahkan Alkitab, atau jangan-jangan Alkitab itu hanya sebuah 'buku cerita' yang terselip di antara deretan rak buku.
Beberapa tahun kemudian, Erazo menghadiri sebuah retret gereja. Dari sanalah, awalnya perempuan yang besar di keluarga Kristen ini memiliki keinginan untuk melakukan perjalanan spiritual. Ia melakukan refleksi atas kejadian-kejadian yang telah lampau.
Pada hari terakhir retret, Erazo berjalan menyusuri bukit besar hingga ke pantai dan terduduk memandangi lautan. Perempuan itu sendirian. Ia begitu berharap Tuhan mengulurkan tangan dan menyentuhnya dengan penuh kasih. Sore itu, ia merasa telah datang kepada-Nya dengan segenap keyakinan bahwa Dia-lah satu-satunya penolong.
Peristiwa itu terjadi pada akhir Oktober, saat suhu air sedikit lebih dingin dibanding bulan-bulan lain. Di tepi pantai, Erazo terus sibuk dengan gemuruh pikirannya. Ia berteriak-teriak memanggil Tuhan di dalam benak. Tapi, Tuhan tak datang hari itu. Kejadian itu membekas di benaknya. Ia putus asa.
Saat itulah, air mata hangat mendadak mengalir di wajah Erazo. Ia menyerah pada Tuhan. "Baik, kalau Dia melupakanku, aku juga akan melupakannya," kata Erazo saat itu, membeberkan kisah perjalanan spiritualnya seperti dikutip dari Muslim Village.
Selama tahun-tahun berikutnya, ia hidup tanpa iman. Ia belum menemukan jawaban apa pun atas kegelisahannya. Setiap pertanyaan yang muncul malahan membuat Erazo semakin marah lantaran tidak pernah ada jawaban.