REPUBLIKA.CO.ID, Berpuluh tahun, shalawat Tarhim semacam jadi ciri khas akustik Islam di Tanah Air, dari Sabang sampai Merauke. Apa cerita di baliknya? Kapan ia mula-mula dilantangkan? Siapa pendarasnya? Mengapa ia sedemikian manjur membuat hati terenyuh? Wartawan Republika Andrian Saputra, Dadang Kurnia, Adinda Pryanka, dan Fitriyan Zamzami mencari tahu soal itu. Berikut tulisan bagian ketiganya.
Tiga puluh menit menjelang waktu shalat fardu, masjid-masjid di hampir seluruh wilayah Jawa Timur menyiarkan lantunan ayat suci Alquran, kemudian diiringi shalawat. Tak terkecuali saat waktu Shalat Subuh hampir tiba. Lantunan Shalawat Tarhim, diiringi bacaan surat-surat pendek secara serempak disiarkan layaknya alarm yang membangunkan masyarakat, sekaligus mengajak shalat berjamaah ke masjid.
Setelah ditelisik, ternyata lantunan Shalawat Tarhim yang didaraskan Syekh Mahmoud Khalil Al-Husary dan bacaan surah-surah pendek yang disuarakan tersebut berasal siaran radio. Adalah Radio Yayasan Masjid Rahmat (Yasmara) yang secara istiqomah direlay masjid-masjid tersebut untuk disiarkan kembali hingga ke pelosok-pelosok. Radio ini mengudara dengan gelombang AM tepatnya frekuensi 1152 KHz.
Republika mengunjungi markas radio tersebut, di kawasan Kembang Kuning, Surabaya, pekan lalu. Ia adalah sebuah ruangan 4 x 4 meter yang disulap menjadi studio tempat siaran, seperti studio radio-radio pada umumnya.
Meskipun, dalam satu dan lain hal, bisa dikatakan lebih sederhana. Hanya ada satu unit komputer tabung, earphone, dan sebuah pelantang lengkap dengan dudukannya. Tentunya, tuangan tersebut juga dilengkapi meja dan kursi tempat si penyiar radio menjalankan siarannya.
Ruangan itu bersisian dengan Masjid Agung Rahmat yang merupakan masjid tertua di Surabaya dan kisahnya didirikan Sunan Ampel. Sejarah itu yang jadi asal nama masjid tersebut sesuai nama asli Sunan Ampel yakni Raden Rahmat.
Shalawat Tarhim yang didaraskan Syekh Al-Husary dan bacaan surah pendek dari radio
Saat berdiri pada 1400-an, masyarakat setempat menyebut masjid itu Langgar Tiban. Sebab, bangunan itu seakan-akan jatuh (tiba, bahasa Jawa) entah dari mana sementara masyarakat merasa tidak membangun. Kala Sunan Ampel mengembangkan dakwahnya, masjid ini kemudian dipimpin Mbah Wirosroyo yang merupakan mertua Sunan Ampel. Saat itu, di sekitar masjid ini masih dikelilingi hutan.
Setelah berkembang dan dirasa tidak cukup menampung jamaah, masyarakat berinisiatif membangun dan merenovasi Masjid Rahmat. Pada 1964, menteri agama saat itu Syaifuddin Zuhri menyetujui permintaan masyarakat dan membangun kembali masjid menggunakan dana pemerintah. Pada 1967 masjid selesai dibangun dan diresmikan.
Masjid Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur.
Sebagai masjid tertua, tak heran azan dari Masjid Rahmat menjadi patokan waktu shalat di Surabaya dan sekitarnya. “Dulu itu masyarakat enggak berani buka puasa sebelum masjid di sini azan,” ucap Ketua Yayasan Masjid Rahmat, Mansyur (60 tahun) merawikan. Tak lama selepas renovasinya diresmikan, berdirilah Radio Yasmara pada awal 1970-an.
Sejak itu pula, Radio Yasmara menyuarakan lantunan Tarhim dan bacaan surat-surat pendek, untuk kemudian disiarkan kembali oleh masjid-masjid yang terjangkau siarannya. "Sudah sejak 1974 dan istiqomah sampai sekarang. Awalnya dilakukan hanya untuk menyerempakkan kumandang azan waktu Shalat Subuh di Kota Surabaya," kata Mansyur.