Sabtu 01 Oct 2016 00:07 WIB

‎Industri Kosmetik Khawatir Sertifikasi Halal Timbulkan Beban Biaya Besar

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Andi Nur Aminah
Kosmetika berlabel halal. (ilustrasi)
Foto: www.irib.ir
Kosmetika berlabel halal. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses sertifikasi halal terhadap produk kosmetik dinilai tidak mudah. Banyak proses yang harus dilewati sehingga membebani perusahaan kosmetik.

Proses produksi kosemtik ada yang dilakukan oleh pabrik dan subkontraktor. Pabrik sendiri tidak berlokasi di satu tempat, melainkan di berbagai macam tempat. Begitu juga dengan subkontraktor yang bahkan berlokasi di berbagai negara. Pabrik ataupun subkontraktor tidak hanya menyuplai produk kosmetik ke Indonesia saja, melainkan juga ke negara lain.

Dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) diharuskan adanya pemisahan terhadap alat, fasilitas untuk tiap-tiap pengolahan, penyimpanan, pengemasan, hingga distribusi untuk produk yang halal dan yang tidak. "Jadi bayangkan berapa besar peningkatan tambahan biaya untuk investasi fasilitas, lokasi, dan alat yang diperlukan," kata Ketua Bidang Teknis dan Ilmiah Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi) Dewi Rijah Sari kepada Republika.co.id, Jumat (30/9).

 

Jika melihat proses sertifikasi halal kosmetik, ada dua jenis sertifikasi yang harus dilakukan, yakni untuk fasilitas produksi dan produk. Untuk mendapat sertifikasi fasilitas produksi, perusahaan harus mendapatkan status A selama tiga kali berturut-turut minimum dalam jangka waktu tiga bulan. Proses tersebut diakuinya tidak mudah.

Setelah proses produksi suatu produk kosmetik selesai, maka giliran kompleksitas pemasaran mendera perusahaan. Sebab, perusahaan harus melakukan pemisahan tempat dan penyajian antara produk yang halal dan tidak.

Menurut dia, sebagian besar perusahaan kosmetik khawatir akan peningkatan beban biaya jika sertifikasi halal tersebut diwajibkan. Bukan tidak mungkin, kemampuan produksi perusahaan menghasilkan suatu produk berkurang. "Kalau terjadi kekosongan di pasaran, maka berpotensi menimbulkan maraknya kosmetik ilegal, atau malahan sertifikasi halal palsu," ujar Dewi.

Perkosmi sendiri belum mengetahui apakah sertifikasi halal mampu meningkatkan animo masyarakat terhadap produk kosmetik tertentu. Namun memang dibanding tahun sebelumnya, perkembangan penjualan kosmetik saat ini meningkat secara keseluruhan.

Dewi menduga keinginan pemerintah untuk melakukan sertifikasi halal terhadap kosmetik berkaitan dengan potensi bisnis halal. Jika dilihat jumlah penduduk Muslim di Indonesia, maka potensi bisnis halalnya sangat besar. Meski begitu, dia menyarankan pemerintah jeli mengelola potensi tersebut tanpa memberlakukan regulasi yang mempersulit dunia usaha.

Menurut dia, akan lebih baik apabila pemerintah membina dan mendukung pengusaha ke arah lain yang secara tidak langsung bisa menaikkan bisnis halal itu sendiri. "Sehingga bisnis halal bisa jadi pionir dengan cara dan regulasi yang lebih baik, tanpa membebani perusahaan," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement