Selasa 17 Nov 2015 18:15 WIB

Masjid Agung Mahdiya Terinspirasi Bangunan Abbasiyah dan Umayyah

Masjid Agung Mahdya
Foto: wordpress
Masjid Agung Mahdya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bangunan yang paling penting di seluruh kompleks Istana Ubaidillah adalah Masjid Agung Mahdiya. Masjid ini terletak di selatan semenanjung dan dibangun pada 916 M di atas teras buatan. Modifikasi dilakukan pada beberapa kesempatan berikutnya.

Selama penggalian 1960, arkeolog berhasil merekonstruksi rencana tahap pertama bangunan. Mereka juga membawa beberapa fragmen asli masjid. Masjid Agung Madiya berbentuk wilayah persegi panjang luas yang atas aula tempat shalat dan halaman yang tiga sisinya dikelilingi tiang beratap.

Aula tempat shalat berupa sembilan lorong dan tiga teluk. Ruangan ini kemudian dibagi oleh delapan baris pilar kembar. Lorong tengah lebih tinggi dan luas daripada yang lain. Kubah dibuat di depan mihrab. Mihrab berbentuk setengah lingkaran tersembunyi di antara dua tiang.

Dari strukturnya, Masjid Agung Mahdiya mengingatkan bangunan Aghlabid, tetapi ada beberapa inovasi mencolok dalam desain bagian muka Masjid. Seperti, di Istana al-Qaim, pintu masuk menjadi elemen arsitektur mencolok. Teras yang besar diusung dengan lengkungan tapal kuda.

Pada kedua sisi teras ada dua relung dengan lengkungan tapal kuda, satu di atas yang lain. Relung yang lebih rendah berdinding belakang datar dan relung atas berdinding setengah lingkaran. Dengan dekorasi tripartit dan ceruk, bangunan ini menyerupai gerbang kota monumental dari zaman klasik. Ia juga menunjukkan beberapa kesamaan dengan bangunan militer periode Abbasiyah dan Umayyah. Model Masjid ini diikuti banyak bangunan keagamaan di Afrika Utara dan Mesir.

Ketika al-Mansur berkuasa pada 946 M untuk alasan strategis dan politis, ia memindahkan ibu kota. Posisi geografis Mahdiya telah jelas terbukti menguntungkan ketika Abu Yazid tidak berhasil mengepung kota ini.

(Baca Juga: Kebangkitan Arsitektur Islam Fatimiyah)

Al-Mansur tertarik dengan wilayah di sekitar Kairouan, tempat ia membangun sepertiga kota kerajaan dekat al-Abbasiya dan Raqqada. Ia kemudian menyebutnya al-Mansuriya. Berdirinya kota ini dilihat sebagai tanda rekonsiliasi dengan Sunni dan demonstrasi mencolok kekuasaan Syiah.

Al-Mansuriya dibangun di selatan Kairouan dan dalam waktu yang sangat singkat. Kota dikelilingi oleh dinding lingkaran. Ilustrasi abad pertengahan menampilkan empat gerbang di dalamnya. Dinding setebal empat meter diapit menara berbentuk setengah lingkaran dan persegi panjang besar.

Sebuah masjid besar, al-Azhar (gemerlapan), dibangun. Pasar Kairouan dipindahkan ke al-Mansuriya. Ahli geografi al-Idrisi memperkirakan 300 tempat pemandian dan sumur-sumur dibangun. Saluran air dibangun Aghlabids untuk mengontrol pasokan air ke Kairouan. Banyak istana dibangun, di antaranya Qasr al-Bahr, Qasr al-Iwan, dan Qasr al-Kafur.

Tradisi arsitektur sekuler Fatimiyah terus berlanjut dalam bangunan pengikut mereka, Zirid dan Hammadid. Sesaat sebelum pindah ke Kairo pada 973 M, Khalifah al-Muiz ditransfer Pemerintah Afrika Utara ke Zirid Buluggin.

Sumber: Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement