Oleh: Ratna Ajeng Tejomukti
Akhirnya, Al Azis menyerahkan tampuk kerajaan kepada saudara laki-laki Sitt, Al Hakim, yang masih berusia 11 tahun. Masa pemerintahan Al Hakim tidak berlangsung lama.
Kekisruhan semakin menjadi-jadi di masa pemerintahan khalifah yang masih muda itu. Sejumlah menteri dari Yahudi dan Nasrani banyak mengatur kewenangan ekonomi kerajaan, termasuk zakat dan pajak. Bahkan, seorang dokter kerajaan pun memiliki kewenangan yang luas untuk memengaruhi pemerintahan.
Sitt yang mendapat didikan kepemimpinan dari ayahnya tidak bisa diam. Dia berinisiatif mengambil alih pemerintahan dari saudaranya. Namun, Dinasti Fatimiyah tidak mengenal kekhalifahan yang dipimpin wanita. Sitt yang mengambil alih pemerintahan hanya bergelar bupati.
Guna menyiasati hal itu, anak laki-laki Sitt, Al Zahir, diangkat menjadi khalifah. Usia Al Zahir saat itu baru 16 tahun. Kepemimpinan Al Zahir langsung didampingi ibunya, Sitt, yang bergelar bupati dan ibu suri.
Dengan posisi tersebut, Sitt bisa mengendalikan pemerintahan meski lewat anaknya. Dia tetap menjaga tradisi dinasti dan tidak melanggar peraturan, tetapi pada hakikatnya semua urusan kekhalifahan diatur oleh Sitt. Dia sangat piawai dalam mengurus segala hal mengenai kedinastian meskipun hanya sebagai bupati. Dia memiliki gelar “Naib kami Sultanat”.
Dia mengorganisasi daerahnya dengan terampil. Dia menunjuk beberapa menteri yang berkompeten. Menteri harus tinggal menetap untuk mendengarkan rakyat, terutama masalah ekonomi di setiap kabupaten. Dalam kedudukannya sebagai bupati, Dinasti Fatimiyah kembali menjadi stabil.
Sitt meninggal pada 415 H/1024 M setelah membawa kembali kemakmuran negara. Dinasti Fatimiyah menemui kehancuran pada tahun 567 H/1171 M. Setelah terjadi perpecahan di antara para pemimpinnya. Di samping itu, runtuhnya dinasti Fatimiyah juga ditumbangkan Dinasti Ayyubiyah.