Ahad 18 Mar 2018 19:00 WIB

'Soal Cadar, IAIN Bukittinggi Semestinya tak Atur Keyakinan'

Anggota DPRD Sumatra Barat, Irsyad Safar, menganggap cadar ialah bentuk keyakinan.

Rep: Sapto Andika Candra / Red: Reiny Dwinanda
Dosen IAIN Bukittinggi Hayati Syafri yang terpaksa libur mengajar karena keputusannya bercadar. Hayati saat mengikuti wisuda doktor di Universitas Negeri Padang (UNP), Jumat (16/3). Wisuda juga dihadiri Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Foto: Humas UNP
Dosen IAIN Bukittinggi Hayati Syafri yang terpaksa libur mengajar karena keputusannya bercadar. Hayati saat mengikuti wisuda doktor di Universitas Negeri Padang (UNP), Jumat (16/3). Wisuda juga dihadiri Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Anggota DPRD Provinsi Sumatra Barat, Irsyad Safar, menyayangkan kebijakan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi yang membatasi penggunaan cadar di dalam kampus. Menurutnya, alasan di balik munculnya aturan pembatasan cadar oleh rektorat tidak cukup kuat. 

Irsyad mengatakan penggunaan cadar merupakan bentuk keyakinan seorang Muslimah dalam menjalankan agamanya. Artinya, tidak semestinya pihak kampus mengatur keyakinan yang dijalankan dalam menggunakan cadar.

"Sepemahaman saya, ulama memandang cadar ini ada yang wajib, ada yang sunah. Jadi ketika jatuhnya malah dilarang, oleh kampus Islam pula, itu tidak bijaksana," ujar Irsyad, Ahad (18/3).

DPRD Sumbar, lanjut Irsyad, memang belum ada niatan untuk melakukan pembahasan tentang kebijakan ini. Menurutnya, kebijakan terkait ini merupakan ranah pemerintah sebagai pemebuat regulasi. Meski begitu, ia menampung aspirasi masyarakat yang tak sedikit merasa keberatan dengan langkah IAIN Bukittinggi dalam membatasi cadar.

Pimpinan IAIN Bukittinggi tetap bersikukuh untuk menjalankan kebijakan yang mengatur tata cara berbusana dosen dan mahasiswi, khususnya tentang cadar. Rektor IAIN Bukittinggi Ridha Ahida menjelaskan, pihaknya masih dalam tahap mengimbau kepada seluruh dosen dan mahasiswa untuk mematuhi komitmen atas kode etik yang sudah disusun bersama. 

Ridha berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 4 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi yang menyinggung kewenangan kampus untuk mengatur dirinya sendiri sepanjang tetap memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pihak kampus juga masih berupaya melakukan pendekatan dengan Dr Hayati Syafri, sosok dosen perempuan yang terpaksa diliburkan dari aktivitas mengajar karena keputusannya dalam mengenakan cadar. 

Ridha menegaskan bahwa hingga saat ini Hayati masih berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dan masih menerima gaji sebagai dosen. "Kami masih memberi waktu kepada yang bersangkutan untuk menyelesaikan. Kode etik ada dalam aturan berpakaian, pakaian formal yang sesuai dengan syariat Islam," kata Ridha dalam konferensi pers di kampus IAIN Bukittinggi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement