REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik di Timor Leste (saat itu masih bernama Timor Timur) mewarnai perjalanan hidupnya, juga pertemuannya dengan Islam. Bertahun-tahun lama nya, remaja bernama Luis Monteiro seolah me nyusun pecahan puzzle yang tak pernah ia tahu gambar utuhnya. Tak sia-sia, setelah tujuh tahun, semua hal membi ngungkan itu membawanya pada satu jawaban: Islam.
Terlahir di wilayah konflik tentu bukan keinginannya. Tetapi, boleh jadi itulah satu hal yang disyukurinya kini. Ali Akbar, “penyusun puzzle” itu, kini telah hidup dalam kedamaian Islam. “Ceritanya panjang,” ujar nya. Ali, yang sebelum berislam bernama Luis Monteiro, memulai kisahnya.
Dua puluh tiga tahun lalu ia adalah seorang Kristiani yang rajin mengunjungi gereja. Ia adalah satu dari delapan orang bersaudara dan tinggal di dalam sebuah rumah yang memiliki simbol bulan sabit. Sebuah peristiwa di tengah masa itu mengawali segalanya. Ali dikejutkan oleh aksi Paus Yohanes Paulus II ketika pemimpin ge reja Katolik Roma itu berkunjung ke Jakarta pada 1989. “Setelah turun dari pesawat, ia sem pat bersujud,” kata pria kelahiran 1973 itu.
Pemandangan yang disaksikannya melalui satu-satunya televisi nasional kala itu, kata nya, segera memunculkan sesuatu yang aneh dalam hati dan pikirannya. “Terlintas pertanyaan besar dalam benakku, mengingat dok trin gereja yang sampai padaku menyebut Yohanes sebagai Tuhan. Jika ia memang Tu han, lalu kepada siapa ia bersujud?” lanjutnya.
Ali menjelaskan, salah satu doktrin gereja lainnya mengatakan bahwa setiap umat Katolik yang bertemu Paus harus mencium tangannya. “Jika tidak, ia akan mati atau mem per oleh akibat yang fatal,” ujarnya. Maka, ketika Paus berkesempatan mengunjungi Timor Timur, Ali memutuskan untuk tidak menyalaminya.
“Sampai tahun 1990, semua aman. Tidak ada hal fatal yang terjadi dan itu membuatku semakin ingin tahu tentang kebenaran ajaran agamaku.”
Pada tahun yang sama, Allah membimbing Ali pada “potongan puzzle” lainnya. Di tanah kelahirannya, bulan sabit adalah simbol adat. “Pada saat yang sama, aku mengenalnya pula sebagai simbol masjid,” katanya.
Ia mempertanyakan mengapa simbol itu tidak terdapat di gereja yang menjadi tempat ibadah hampir seluruh masyarakat Timor Leste. Belakangan, seorang pria keturunan Arab yang dikenalnya mengatakan bahwa sebelum Portugal datang, Timor Leste telah dihuni oleh orang Islam. “Menurutnya, simbol bulan sabit adalah peninggalan orangorang Islam pada masa itu.”
Tak lama berselang, pertanyaan serupa kembali berputar di kepalanya. Ia melihat kesamaan antara alat musik tabuh khas Timor Leste, tebe-tebe (bentuknya seperti seperti beduk, tetapi berukuran kecil), dan beduk yang pernah dilihatnya di masjid. Juga antara ritual baptis dan amalan wudhu. “Aku merasa seolah ada kedekatan antara adat kami dan budaya Islam,” katanya.
Hingga usia 20-an, Ali tak pernah mengenyam bangku sekolah. Terlahir dari dua orang tua yang tidak mengenal baca-tulis dan sebagai anak laki-laki yang memiliki tiga orang adik, Ali harus mengutamakan adik-adiknya. Terlebih, ketika mulai diberlakukan wajib militer, Ali harus meninggalkan rumah dan tinggal di barak.
Perjalanan Ali menuju Islam terus berlanjut. Suatu kali, ia menemukan Alquran terjemahan terbitan Departemen Agama milik seorang tentara. Ia membukanya secara acak dan menemukan terjemahan yang berbunyi, “Sesungguh nya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanya Islam (QS Ali ‘Imran:19).” Ali pun tersentak.
Ketika di rumah, ia bermaksud mencari ayat serupa dalam Alkitab. Dua bulan membacanya, Ali tak menemukan kalimat dengan redaksi yang serupa dengan kalimat dalam Alquran yang dibacanya di barak. “Tak ada ayat yang mengatakan bahwa Kristen adalah satusatunya agama yang diterima di sisi Tuhan,” katanya.
Pada kesempatan lainnya, di surah yang sama pada ayat 85, Ali menemukan kalimat yang berbunyi, “Barang siapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” Ali kembali menelusuri kalimat- kalimat Alkitab untuk menemukan kalimat serupa. Pencariannya kembali nihil.
Sebaliknya, ia justru menemukan ayat-ayat yang tidak sesuai dan bertolak belakang. “Seperti ayat yang menjelaskan tentang Yesus,” ujarnya. Sebagian ayat, kata Ali, menyebutnya sebagai anak Tuhan sementara ayat yang lain menyebutnya anak Abraham.
Tak hanya kitab suci, Ali membaca buku Biologi untuk SMP. Membaca bab reproduksi, Ali dengan mudah menyimpulkan bahwa laki-laki tidak melahirkan. Doktrin bahwa Yesus adalah anak Tuhan pun mulai mengganggu logikanya. “Yesus tidak seharusnya dinasabkan pada Tuhan karena Tuhan tidak punya istri,” ia mendebat dalam hati.
“Atau, Tuhan itu perempuan? Jika ya, maka ia adalah Maryam. Tetapi, bukankah Maryam sudah mati? Lalu, siapa yang mengatur alam semesta sejak ia mati? Dan, jika memang manusia seperti Maryam layak dijadikan Tuhan, mengapa manusia tidak menuhankan Adam, manusia pertama di bumi?”
Mendirikan Pesantren
Pertanyaan dan pergulatan batin yang melelahkan itu membawa Ali pada ke raguan yang semakin be sar pada agamanya. Hingga pada suatu hari pada 1995, ia merasa harus mengakhirinya dengan sebuah keputusan memilih Islam. Kepada tentara yang menjelaskan pengertian ‘jamaah’ dan ‘derajat,’ Ali menyampaikan ke inginannya.
Tentu berpindah agama bukanlah perkara ringan di Timor Timur yang dirundung konflik kala itu. Atas pertimbangan keamanan, tentara itu menjelaskan risiko yang mungkin dihadapi jika ia meninggalkan agamanya dan menjadi Muslim. “Katanya, aku bisa diusir, dibuat cacat, bahkan dibunuh akibat keputusan itu. Ia memintaku me mikirkan kembali keputusan ku untuk memeluk Islam.”
Tak ingin membiarkan dirinya gamang berkepanjangan, Ali kembali mendatangi tentara yang sama untuk diislamkan. “Tahun 1996, tapi aku lupa tanggal dan bulannya,” ujarnya. Disaksikan oleh tiga orang tentara, Luis Monteiro bersyahadat. Di barak militer itu, ia resmi menjadi seorang Muslim.
Berbekal status mualaf, Ali Akbar memutuskan me ninggalkan barak dan ru mah nya menuju Dili. Ia ke mudian berkesempatan belajar di sebuah pesantren di Jawa Timur.
Ali, yang juga berhasil mengislamkan orang tua dan adik-adiknya, kemudian mendalami Alquran di Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ). Tahun ketiga di perguruan Alquran tersebut, Ali melengkapi studi Alqurannya dengan mendalami bahasa Arab di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) sejak 2010 hingga sekarang.
Kini, sambil terus memperdalam keislamannya, Ali membimbing sejumlah mua laf di pesantren khusus mua laf Yayasan An-Naba’ Center di Ciputat, Tangerang. Setelah menyelesaikan studinya nan ti, Ali akan kembali ke Makassar dan bersama istrinya menge lola sebuah pesantren yang ia rintis bersama kakak ipar nya.