Jumat 22 Dec 2017 17:15 WIB

Soal Muslim, Politikus Sayap Kanan Eropa Terinspirasi Trump

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agung Sasongko
Donald Trump
Foto: time.com
Donald Trump

REPUBLIKA.CO.ID, PRAHA -- Pemimpin sayap kanan yang paling ekstrim berkumpul di Praha, ibukota Republik Ceko, pada Ahad (17/12) lalu untuk membahas soal aspirasi mereka dalam menerapkan larangan bagi Muslim. Aspirasi mereka itu menyerupai kebijakan imigrasi garis keras yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Seorang politisi Belanda sayap-kanan, yang juga menyisir rambut pirangnya mirip dengan Trump, Geert Wilders mengatakan bahwa mereka harus memiliki keberanian untuk menerapkan larangan perjalanan seperti yang dilakukan oleh Trump. Pada acara tersebut, Wilders berkumpul bersama dengan para anggota sayap-kanan dari Parlemen Eropa.
 
"Kita harus memiliki keberanian untuk mengirim setiap perahu dengan imigran gelap kembali, seperti yang dilakukan Australia untuk waktu yang lama," kata Wilders, dilansir dari Newsweek, Jumat (22/12).
 
Ia mengacu pada kebijakan keras yang diterapkan oleh Australia, yang telah menyebabkan ribuan migran terdampar di pulau-pulau yang berfungsi sebagai pusat penahanan de facto. Yang mana, pulau itu terkadang tanpa makanan atau air yang memadai.
 
Pemerintahan Trump telah menerapkan larangan untuk menghentikan imigran dan pengunjung dari beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim untuk memasuki Amerika Serikat. Awal bulan ini, Mahkamah Agung memutuskan bahwa larangan perjalanan itu bisa berlaku sepenuhnya sembari menanti berbagai tantangan hukum. Keputusan tersebut disambut baik oleh anggota sayap kanan Eropa, yang juga ingin melarang imigran Muslim dan pengungsi memasuki benua Eropa.
 
Pendukung sayap kanan, politisi populis dari negara-negara seperti Prancis, Polandia, Austria, Belanda, dan Inggris bertemu pada Ahad lalu di bawah sebuah spanduk yang menyerukan "Negara-negara Eropa yang Berdaulat". Spanduk itu berisi sebuah slogan yang mempromosikan hak setiap negara Eropa untuk menolak persyaratan yang diterima anggota Uni Eropa dalam kuota pengungsi.
 
Mayoritas sosok sayap kanan Eropa yang paling terkenal, seperti Wilders dan Marine Le Pen dari Prancism telah gagal dalam pemilihan di negara asal mereka. Pertemuan pada Ahad itu tampak seperti sebuah konvensi dari kelompok sayap-kanan yang ditolak.
 
Namun, para pakar mengatakan bahwa itu akan menjadi kesalahan jika mereka meremehkan kemampuan kelompok anti-islam, populis sayap-kanan untuk melemahkan nilai-nilai liberal Eropa. Hal ini terutama terbukti seperti halnya partai Kebebasan Austria, salah satu peserta dalam acara tersebut. Partai itu menjadi satu-satunya partai sayap kanan yang masuk dalam pemerintahan di Eropa Barat.
 
Dalam acara tersebut, Wilders memuji negara-negara seperti Hungaria, Republik Ceko, Slowakia dan Polandia, karena menolak untuk menerima pengungsi Muslim. Selama konferensi, para peserta menghabiskan sebagian besar waktu meratapi dugaan hilangnya budaya Eropa, karena masuknya pengungsi dari negara-negara mayoritas Muslim.
 
Untuk saat ini, seorang peneliti senior dari Freedom House, Zselyke Csaky, mengatakan populis yang benar-benar berkuasa, misalnya di Polandia, Hungaria, atau Austria, adalah orang-orang yang harus diperhatikan.
 
"Selain melemparkan kunci ke dalam proyek Eropa, seperti rekan-rekan Eropa Barat mereka yang tidak berkuasa, mereka menimbulkan bahaya yang jauh lebih besar dengan menantang sifat persatuan sebagai komunitas berbasis nilai," kata Csaky.
 
Sementara itu, Le Pen mengatakan bahwa migrasi semakin tak tertahankan. Sementara budaya Eropa dianggap menjadi rusak. Le Pen adalah politisi Islamofobia yang secara mengejutkan berhasil dalam pemilihan Prancis pada Mei lalu. Namun, ia akhirnya kalah dalam putaran final saat pemungutan suara.
 
"Kami menyukai keragaman, tapi saya suka Belanda menjadi orang Belanda, orang Cheska menjadi orang Cheska, saya suka orang Prancis itu orang Prancis, dan saya suka orang Italia itu orang Italia," ujar Le Pen.
 
Aktivis hak asasi manusia sekaligus direktur media Human Rights Watch Eropa, Andrew Stroehlein, mengatakan bahwa hal terakhir yang perlu dilakukan oleh Eropa ialah mengimpor gagasan terburuk dari pemerintahan Trump.
 
"Larangan Muslim adalah prasangka yang jelas dan sederhana, diusulkan oleh demagog xenofobia yang mencoba memicu ketakutan dan kebencian karena keuntungan politik mereka," kata Stroehlein.
 
Konferensi tersebut diselenggarakan oleh partai Kebebasan dan Demokrasi Langsung Republik Ceko, yang memenangkan hampir 11 persen suara selama pemilihan di Republik Ceko. Pemimpin partai tersebut, Tomio Okamura, telah dibandingkan dengan Trump karena retorika populis dan sikap anti-Muslim yang ekstrim.
 
Okamura telah menyerukan kebijakan migrasi tanpa toleransi dan mencoba menghentikan 'Islamisasi' di Republik Ceko. Meskipun, faktanya Republik Ceko memiliki hanya sekitar 11 ribu Muslim, yang merupakan hanya 0,1 persen dari populasi. Sementara itu, sekitar 400 demonstran berkumpul di luar konferensi untuk memprotes xenophobia saat acara tersebut berlangsung Ahad lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement