Rabu 13 Dec 2017 19:05 WIB

Perkembangan Islam di Eropa Jadi Kajian Peneliti

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agung Sasongko
Umat Islam di Eropa
Foto:
Masjid Essalam, salah satu masjid besar di Eropa (ilustrasi)

Para peneliti Pew melihat adanya tiga skenario. Pertama, 'migrasi nol' antara 2016 dan 2050. Kedua, 'migrasi sedang' di mana arus pengungsi berhenti, tapi masyarakat terus bermigrasi karena alasan lain. Ketiga 'migrasi tinggi', di mana arus migran antara 2014 dan 2016 berlanjut dengan komposisi agama yang sama.

Dalam skenario 'migrasi sedang atau menengah', Swedia memiliki bagian terbesar dari populasi baru, yakni sebesar 20,5 persen. Migrasi sedang ini dianggap oleh Pew sebagai jenis migrasi yang paling mungkin. Sementara itu, angka populasi baru di Inggris akan meningkat dari 6,3 persen pada 2016 menjadi 16,7 persen. Disebutkan, akan ada persentase sama di mana-nama, dari mulai Belgia (15 persen) hingga Prancis (17,4 persen).

Jika migrasi tinggi berlanjut hingga 2050, angka Muslim di Swedia akan tumbuh menjadi 30,6 persen, Finlandia hingga 15 persen, Norwegia hingga 17 persen, Prancis hingga 18 persen, Belgia hingga 18,2 persen, dan Austria mencapai 19,9 persen. Kendati demikian, skenario dramatis Pew tidak menceritakan keseluruhan cerita.

Lalu, apa yang akan terjadi di kota-kota besar di Eropa, di mana komunitas Muslim saat ini berbasis? Akankah London, Marseille, Stockholm, Brussels, Amsterdam, Berlin dan Birmingham semuanya memiliki mayoritas Muslim?

Peneliti demografi asal Prancis, Jean-Claude Chesnais, dalam bukunya "Le Crpuscule de l'Occident" memprediksikan sebuah benua yang kaya tapi steril. Yang mana, benua itu digambarkan memiliki populasi yang ditandai dengan kematian, bukan kelahiran.

Menurut badan statistik nasional Istat, kurang dari 474 ribu kelahiran terdaftar di Italia tahun lalu. Angka itu menurun sebanyak 12 ribu dari tahun sebelumnya. Yang mana, ada penurunan yang lebih besar dari sebanyak 577 ribu kelahiran pada 2008.

Italia juga dilaporkan telah kehilangan 100 ribu kelahiran dalam 10 tahun. Kehilangan itu lantas disebut sebagai 'Eurosion Terbesar', yang berarti benua tua yang 'pecah'.

Lebih dari itu, kelompok demografi dengan pertumbuhan tercepat di Eropa juga paling tahan terhadap demokrasi liberal Eropa yang tersekulerisasi. Yang mana, itu dipandang sebagai tanda abdikasi moral dari jalan yang 'sebenarnya'.

Di bawah proyeksi 'sedang' dan 'tinggi' dalam skenario Pew tersebut, bagaimana Eropa dapat melestarikan semua hadiah mereka yang paling berharga? Yang mana, Eropa memiliki kebebasan berekspresi, adanya pemisahan antara gereja dan negara, kebebasan nurani, peraturan hukum dan persamaan antara pria dan wanita.

Seorang penulis asal Prancis, Eric Zemmour, mengungkapkan pandangannya terkait hal itu. "Jika besok ada 20, 30 juta Muslim Prancis yang bertekad untuk memakaikan jilbab pada istri mereka dan ingin menerapkan hukum Syariah, kita hanya bisa melestarikan aturan minimal sekularisme oleh kediktatoran. Itulah yang Atatrk, Bourguiba atau bahkan Nasser pahami di zaman mereka," kata Zemmour.

Akankah Eropa mundur ke rezim non-demokratik untuk mempertahankan kebebasannya sendiri ataukah justru kehilangan kebebasan di bawah kebangkitan komunitas Islam yang besar tersebut? Hal itu mengingat apa yang terjadi di Eropa dalam beberapa tahun terakhir, seperti terorisme dan multikulturalisme.

Jean-Claude Chesnais menyebut pergeseran itu sebagai "crpuscule", sebuah senja. Menurutnya, masyarakat Eropa hidup melalui pemusnahan diri tentang sebuah pencerahan. Yang mana, hal itu telah membentuk zaman kemanusiaan yang saat ini mereka jalani.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement