Kamis 05 Oct 2017 12:26 WIB

BNPT: Lebih dari 10 Pesantren Terindikasi Radikal

Rep: Muhyiddin/ Red: Agus Yulianto
Ratusan warga 'mengontrog' Pondok Pesantren Ibnu Mas'ud, Desa Sukajaya, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Warga menuntut agar Ponpes yang ditengarai terhubung dengan ISIS dan gerakan Islam radikal tersebut ditutup (Ilustrasi)
Foto: Republika/Gumanti Awaliyah
Ratusan warga 'mengontrog' Pondok Pesantren Ibnu Mas'ud, Desa Sukajaya, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Warga menuntut agar Ponpes yang ditengarai terhubung dengan ISIS dan gerakan Islam radikal tersebut ditutup (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengeluarkan data menyangkut pesantren radikal di Tanah Air. Menurut data BNPT, ada lebih dari sepuluh pesantren di Indonesia terindikasi radikal. Pesantren tersebut berada di beberapa daerah Jawa dan Luar Jawa.

Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin mengatakan, berdasarkan data yang dikeluarkan BNPT menyebutkan beberapa pesantren adikal. "Lebih dari 10-lah (yang terindikasi radikal)," ujar Kamaruddin saat ditemui di Gedung Kementerian Agama, Jakarta Pusat, Rabu (4/10).

Namun, dia belum bisa menjelaskan nama-nama pesantren yang terindikasi radikal tersebut. Hanya, dia menjelaskan,  pemahaman radikal tersebut muncul disebabkan berdasarkan peristiwa yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah.

"Kan transaksional idelogi impor, dampak dari krisis dari Timur Tengah, persitiswa di Syria, Libya dan Yaman. Teroris lahir dari negera gagal, jadi tentu luas didiskusikan," ucapnya.

Menurut Kamaruddin, pesantren di Indonesia harus berjuang untuk melawan ideologi-ideologi impor tersebut, sehingga Islam moderat di Indonesia tetap terjaga. "Pesantren selama ini berjuang untuk melawan itu semua, jadi benteng moderasi Islam," kata Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin ini.

Dia menambahkan, meskipun radikalisme masih terbilang kecil di Indonesia, jika dibiarkan terus maka akan berbahaya bagi keragaman di Indonesia. "Jadi kita terus melakukan komunikasi dan bantuan juga terhadap mereka, butuh proses. Ketika mempunyai pemahaman radikal itu butuh proses. Kita semua sesungguhnya punya potensi membantu melakukan moderasi itu," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement