Jumat 18 Aug 2017 15:31 WIB

Penyamakan Kulit Hewan dan Pemanfaatannya

Rep: Rahmat Fajar/ Red: Agung Sasongko
Anak sedang melihat hewan kurban yang akan dikuliti sebelum dagingnya dipotong.
Foto: Republika/Musiron
Anak sedang melihat hewan kurban yang akan dikuliti sebelum dagingnya dipotong.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kulit hewan sering kali dimanfaatkan sebagai bahan produksi tas, dompet, sepatu, dan ikat pinggang. Nilai jualnya bahkan, sangat tinggi di pasaran. Bagi konsumen Muslim, segala produk yang digunakan tentu harus yang halal.

Barang-barang yang bahannya dari kulit hewan bisa saja tidak jelas kehalalan dan kesuciannya. Karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada ta hun 2014 lalu mengeluarkan fatwa tentang hal ini guna memberikan penjelasan kepada masyarakat. Berbagai rujukan baik dari Alquran, hadis, pendapat ulama, dan kaidah fikih diambil oleh MUI. Sehingga, fatwa yang dikeluarkan sangat kuat dan tidak di ragukan lagi.

Seperti ayat Alquran yang menjelaskan manfaat ciptaan Allah SWT secara umum untuk kepentingan manusia, yaitu surah al-Baqarah (2): 29 "Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi kamu..."

Kemudian, ada pula ayat Alquran tentang jenis barang yang diharamkan, seperti dalam surah al- An'am (6): 145 "Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang,".

Beberapa hadis nabi menerangkan kulit hewan yang disamak. MUI merujuk dari hadis nabi tentang kesucian kulit bangkai yang disamak, yaitu dari "Ibn Abbas ra ia berkata: Nabi SAW menemukan kambing yang merupakan sedekah kepada Maimunah dalam keadaan mati. Nabi SAW bersabda: mengapa kalian tidak mengambil manfaat dengan kulitnya? Para sahabat menjawab: kambing itu telah jadi bangkai. Kemudian, Rasul SAW pun menjawab: Hanya haram memakannya." (HR Al-Bukhari).

Selanjutnya, MUI juga merujuk ke beberapa hadis terkait kebolehan pemanfaatan kulit bangkai yang sudah disamak di antaranya "Dari Aisyah ra, Rasulullah SAW memerintahkan untuk mengambil manfaat terhadap kulit bangkai apabila telah disamak." (HR Abu Dawud).

MUI juga merujuk kepada hadis-hadis yang menerangkan dorongan berhias dan menggunakan barang gunaan yang baik. Selain itu, MUI merujuk ke pada hadis yang melarang menggunakan barang yang membahayakan.

Pendapat ulama dari Imam al-Mawardi dalam Kitab al-Hawi al-Kabiir, juz 1 halaman 87 menjelas kan penyamakan. Penjelasan tersebut berbunyi "Pasal, dengan apa penyamakan itu? Apabila sudah jelas bahwa kulit bangkai itu najis dan setelah penyamakan menjadi suci, pembahasan beralih ke proses penyamakan. Dalam hadis diriwayatkan secara nash, yaitu dengan menggunakan "syats" dan "qarazh" (daun pohon yang biasa dibuat menyamak). Para fuqaha berbeda pendapat tentang sarana yang digunakan.

Ulama ahli Zhahir membatasi diri atas hal tersebut dan hanya sah dengan hal itu karena status penyamakan adalah rukhshah maka kebolehannya terbatas pada petunjuk yang diberikan nash." Di samping itu, MUI juga mengambil beberapa kaidah fikih seperti yang berbunyi "Hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan hukum asal sesuatu yang berbahaya adalah haram,".

Dari rujukan di atas, MUI memutuskan, memanfaatkan kulit hewan yang disembelih secara syar'i untuk pangan dan barang gunaan hukumnya boleh (mubah). Kemudian, kulit bangkai hewan baik yang boleh dimakan atau tidak adalah najis. Namun, menjadi suci setelah disamak kecuali, anjing, babi, dan yang terlahir dari keduanya.

Selain itu, memanfaatkan kulit hewan baik yang boleh dimakan atau tidak hukumnya boleh dijadikan barang gunaan setelah dilakukan penyamakan. MUI tidak memperbolehkan memanfaatkan kulit hewan yang disamak untuk pangan.

Hal tersebut untuk kehati-hatian karena adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama. Kulit anjing dan babi pun tetap najis dan haram dimanfaatkan untuk pangan ataupun barang gunaan. MUI berharap, fatwa tersebut dapat menjadi pedoman kepada masyarakat, khususnya umat Muslim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement