Sabtu 04 Mar 2017 22:59 WIB

Memahami Haram

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Stop bisnis haram (ilustrasi)
Stop bisnis haram (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Haram adalah salah satu bentuk hukum taklifi, yang dibahas secara khusus oleh ulama ushul fikih.

Menurut ulama ushul fikih, terdapat dua definisi haram, yaitu dari segi batasan dan esensinya, serta dari segi bentuk dan sifatnya.

Dari segi batasan dan esensinya, Imam al Ghazali merumuskan haram dengan sesuatu yang dituntut syari' (Allah SWT dan Rasul-Nya) untuk ditinggalkan melalui tuntutan secara pasti dan mengikat. Adapun dari segi bentuk dan sifatnya, Imam al Baidawi, tokoh ushul fikih Mazhab Syafi'i, merumuskan haram dengan 'suatu perbuatan yang pelakunya dicela'. Ada juga ulama ushul fikih yang menambahkan dalam rumusan tersebut dengan kalimat '..dan orang yang meninggalkannya dipuji', sebagai lawan dari pengertian wajib.

Istilah-istilah yang mirip dan semakna dengan haram dalam ushul fikih adalah al-mahzur (yang dihindari), al-ma'siyah (maksiat), az-zanb (dosa), al-mamnu (yang dilarang), al-qabih (yang buruk/jelek), as-sai'ah (jelek), al-fahisyah (yang keji), al-ism (dosa) dan al-mazjur'anh (yang dicegah darinya).

 

Bagi ulama Mazhab Hanafi, suatu dalil yang menunjuk hukum haram kualitasnya harus dalil yang qat'i (pasti). Jika dalil tersebut kualitasnya zanni (relatif), maka mereka disebut makruh tahrim. Sedangkan jumhur ulama ushul fikih tidak membedakan antara dalil yang qat'i dan yang zanni. Menurut mereka, asal dalil itu mengacu kepada ungkapan-ungkapan yang mengacu pada keharaman, baik dalilnya qat'i maupun zanni, maka hukumnya tetap haram.

Sementara itu, pembagian haram ada dua. Apabila keharaman itu terkait dengan esensi perbuatan, maka disebut dengan haram li zatih (haram karena zatnya). Dan apabila terkait dengan sesuatu yang di luar esensi yang diharamkan, tetapi berbentuk ke-mafsadat-an, maka disebut haram li gairih (haram karena yang lain).

Lebih jelasnya, haram li zatih adalah suatu keharaman yang sejak semuka ditentukan syar'i bahwa hal itu haram, misalnya, memakan bangkai, babi, minum minuman keras, berzina, membunuh dan memakan harta anak yatim. Keharaman pada hal-hal di atas adalah keharaman pada zat (esensi) pekerjaan itu sendiri.

Sedangkan haram li gairih yaitu sesuatu yang pada mulanya disyariatkan, akan tetapi dibarengi oleh suatu yang bersifat mudharat bagi manusia, keharamannya disebabkan adanya mudharat itu. Contohnya, melaksanakan shalat dengan pakaian yang di-gasab (mengambil barang orang lain tanpa izin), bertransaksi jual beli saat kumandang adzan shalat Jumatm, atau berpuasa di hari raya Idul Fitri.

Terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fikih dalam menentukan hukum perbuatan haram li zatih itu, apakah batal (batil) atau fasid. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat, dalam persoalan-persoalan muamalah, karena keharamannya bukan pada zatnya, tetapi disebabkan faktor luar, maka hukumnya fasid (rusak), bukan batal. Akan tetapi, jika haram li gairih yang menyangkut aspek ibadah, hukumnya adalah batal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement