REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Budayawan Taufiq Ismail menilai sosok Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang akrab dipanggil Buya Hamka patut menjadi teladan bangsa.
Taufiq mengakui, Hamka adalah sosok pemimpin umat yang mewariskan banyak teladan. Ia mencontohkan, satu sikap yang bisa diteladani yakni terkait perseteruan Hamka dan Pramoedya Ananta Toer.
Taufiq menceritakan, di era Orde Lama, sebagai pemuka agama dan sastrawan Hamka kerap menjadi sasaran fitnah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Ia mengatakan, Harian Bintang Timur yang kala itu dipimpin oleh Pramoedya menyerang Hamka habis-habisan. "Hamka lantas ditangkap karena dituduh akan melakukan kudeta," ujar Taufiq.
Hamka lantas menjalani masa tahanan selama 2,5 tahun. Ia tidak pernah diadili dan kesalahannya tidak pernah dibuktikan. Hamka justru bisa memanfaatkan masa di bui dengan menyelesaikan penulisan Tafsir Al-Azhar, karya yang hingga kini melambungkan namanya sebagai ulama besar.
Setelah pergantian rezim menjadi Orde Baru, Hamka pun dibebaskan. Dalam suatu ceramah, Hamka lantas menyampaikan pandangannya terkait peristiwa yang membuatnya sampai harus dipenjara. Hamka mengaku ia telah difitnah dan buku-bukunya pun dibakar oleh Lekra. Meski begitu, kata Taufiq, ternyata Hamka tidak mendendam dan memilih memaafkan Pramoedya.
"Dia (Pramoedya) itu ikut-ikutan saja. Dia bukan komunis. Saya memaafkan Pram," ujar Taufiq menirukan pernyataan Hamka. Taufiq mengatakan, Hamka bisa saja membalas dendam kepada Pramoedya. "Inilah contoh akhlak luar biasa dari seorang pemikir Islam," ujarnya.
Selain itu, dia mengungkapkan, peraih gelar honoris causa dari Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, itu adalah sosok yang rajin membaca dan menulis sejak masih menjadi santri di Sumatra Thawalib. "Kebiasaan membaca dan menulis itu penting. Tidak mungkin Hamka bisa menulis tafsir 30 juz kalau tidak pernah membaca," ujar Taufiq.