Jumat 27 Nov 2015 07:50 WIB

Pendidikan Agama di Sekolah Masih Minim

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Andi Nur Aminah
Siswa madrasah membaca buku di perpustakaan.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat/ca
Siswa madrasah membaca buku di perpustakaan.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Penolakan terhadap rencana kebijakan sekolah lima hari yang dicanangkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo juga datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Grobogan. MUI Grobogan pun mendesak MUI Jateng secara tegas menolak kebijakan tersebut.

Sekretaris Umum MUI Grobogan HM Mahbub Ulil Albab meminta agar MUI Jateng prihatin karena pemerintah telah melanggar konstitusi dengan tidak mampu memberi pendidikan agama  yang cukup sesuai amanah konstitusi. Bahkan dengan rencana tersebut malah  akan mematikan madrasah diniyyah dan TPQ.

"Buktinya pelajaran agama cuma dua jam sepekan. Jangan ditambah dengan menutup akses siswa ke madrasah diniyah," ujarnya dalam siaran pers, Kamis (26/11) malam.  

(Baca Juga: Ulama Protes ‎Rencana Kebijakan Sekolah Lima Hari di Jateng).

Seorang alumni Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Dawam Mu'allim mengatakan dulu di zaman Wali Songo, pendidikan Indonesia adalah pendidikan yang berbasis padepokan dan pondok pesantren. Pendidikan di padepokan biasanya menitikberatkan pada pengajaran ilmu silat, bela diri, serta ilmu budi pekerti. Sedangkan pendidikan di pondok pesantren biasanya juga mengajarkan ilmu silat dan bela diri namun lebih dominan pada pengajaran ilmu-ilmu agama.

Pendidikan model seperti itu berlanjut hingga zaman Belanda. Kebanyakan laskar perebut kemerdekaan didominasi para pendekar dan para kyai yang dibantu oleh para santri. 

Belanda pun selalu kewalahan menghadapi mereka sehingga harus memeras otak untuk menghilangkan pendidikan berbasis pondok pesantren dan padepokan. Belanda pun akhirnya membuat pendidikan tandingan yang berbasis ilmu-ilmu duniawi. Namun saat itu para kyai mengharamkan penduduk pribumi belajar di sekolah Belanda. 

"Penduduk pribumi saat itu masih banyak yang taat kepada fatwa kyai sehingga selama ratusan tahun sekolah Belanda masih sepi dari penduduk pribumi," ujar ustaz yang kini mendirikan pesantren di Kalimantan tersebut.

Ketika Belanda masih kalah dengan fatwa kyai, dia mengatakan, akhirnya penjajah melarang para bupati dan wedana menerima pegawai selain dari lulusan sekolah Belanda.  Hal itu dilawan lagi oleh kyai dengan mengeluarkan fatwa haram bagi santri dan anak cucu kyai menjadi pegawai. 

Namun lambat laun, sekolah Belanda itu akhirnya laku juga yang pada akhirnya mampu mengalahkan pendidikan pesantren dan padepokan.  "Sekarang guru yang dianggap sah oleh pemerintah Indonesia adalah para guru sekolah model Belanda. Ini sungguh kenyataan yang sangat menyedihkan," kata dia.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement