REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyatakan Muhammadiyah keberatan dengan penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Muhammadiyah menilai penetapan Hari Santri Nasional dapat mengganggu ukhuwah umat Islam lewat polarisasi santri-nonsantri yang selama ini mulai mencair.
"Muhammadiyah secara resmi berkeberatan dengan Hari Santri," kata Haedar Nashir kepada Republika.co.id, Sabtu (17/10).
Menurut Haedar, Muhammadiyah tidak ingin umat Islam makin terpolarisasi dalam kategorisasi santri dan nonsantri. Hari Santri akan menguatkan kesan eksklusif di tubuh umat dan bangsa. Padahal, selama ini santri-nonsantri makin mencair dan mengarah konvergensi.
Ia berpendapat, untuk apa membuat seremonial umat yang justru membuat kita terbelah. Apalagi, tambah Haedar, hari yang dipilih sangat ekskusif dan milik satu kelompok Islam. Hal itu kian menambah kesenjangan yang berpotensi mengganggu ukhuwah umat Islam.
Haedar menyatakan, pemerintah dan kelompok Islam bisa saja memaksakan diri menetapkan Hari Santri 22 Oktober karena memiliki otoritas. Tidak ada yang bisa mencegah kekuasaan yang ada di tangan pemiliknya.
Namun, lanjut Haedar, pemerintah hendaknya arif dalam mengayomi seluruh komponen bangsa. Di sinilah pentingnya jiwa kenegarawanan. Kelompok Islam lain yang semangat mengusulkan hari santri juga perlu meletakkan dalam konteks keseluruhan umat secara inklusif agar ukhuwah terpelihara.
Ketua Umum PP Muhammadiyah ini nenambahkan, umat Islam masih memiliki banyak urusan strategis yang harus dipecahkan bersama.
"Hari besar Islam penting, tapi jauh lebih penting untuk mengagendakan pemecahan bersama sejumlah persoalan besar, seperti kemiskinan umat, ketertinggalan iptek, dan sebagainya. Energi jangan dihabiskan untuk hal-hal yang kontroversial dan kontraproduktif," kata Haedar menegaskan.