Jumat 31 Jul 2015 19:43 WIB

Komat Tolikara: Masyarakat Adat Harus Dilindungi UU

Barang bukti perlengkapan Masjid Baitul Muttaqin yang terbakar diamankan Polres Tolikara, Papua, Sabtu (25/7).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Barang bukti perlengkapan Masjid Baitul Muttaqin yang terbakar diamankan Polres Tolikara, Papua, Sabtu (25/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Tim Pencari Fakta Komite Umat (Komat) untuk Tolikara Fadhlan Gamaratan merekomendasikan masyarakat adat, khususnya di Papua, harus dilindungi undang-undang yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Masuknya GIDI (Gereja Injili di Indonesia) otoritas kepemimpinanya telah merusak tatanan toleransi dan membuat masyarakat adat terusik," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (31/7).

Rekomendasi kedua, menurut dia, mengembalikan peran adat sebagaimana fungsinya di tengah masyarakat dalam menjaga adat istiadat kebersamaan seluruh masyarakat yang ada di Papua, baik masyarakat asli maupun pendatang.

Rekomendasi selanjutnya, dia menegaskan bahwa negara harus menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing. "Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu," ujarnya.

Selain itu, menurut dia, rekomendasi terkait keberadaan Gereja Injili di Indonesia, lembaga itu dinilai telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia karena telah membubarkan Salat Idulfitri di Tolikara. Menurut dia, pihak terkait harus menemukan dan mengadili aktor intelektual yang menandatangani surat edaran larangan pelaksanaan Salat Id pada tanggal 17 Juli lalu.

"Selama aktor intelektual belum diadili, rasa keadilan masyarakat tidak akan terpenuhi," katanya.

Sebelumnya, Fadlan Gamaratan mengatakan bahwa insiden Tolikara, Papua, pada hari Jumat (17/7), termasuk pelanggaran hak asasi manusia berat karena menghalangi umat beragama beribadah.

"Kesimpulan lapangan soal insiden Tolikara, yaitu termasuk pelanggaran HAM berat karena GIDI menghalangi umat beragama lain melakukan ibadah dan menjalankan ajaran agamanya," katanya saat konferensi pers di Jakarta, Jumat.

Ia menjelaskan kesimpulan kedua, insiden Tolikara sama sekali bukan kasus kriminal biasa dan terjadi bukan karena spontanitas. Namun, menurut dia, peristiwa itu diduga ada upaya menciptakan dan mengusik kehidupan beragama secara sistematis.

 

 

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement