Kamis 30 Jul 2015 16:04 WIB
Muktamar NU

Sistem Ahwa tak Muncul Tiba-Tiba

Pembukaan Munas Alim Ulama NU. Presiden Joko Widodo memberikan paparan saat pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ahad (14/6).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pembukaan Munas Alim Ulama NU. Presiden Joko Widodo memberikan paparan saat pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ahad (14/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem ahlul halli wal 'aqdi (Ahwa) yang menjadi kontroversi jelang Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 di Jombang, Jawa Timur ternyata telah dicetuskan sejak tahun 2012 lalu.

Latar belakangnya adalah keprihatinan tentang realitas proses pemilihan kepemimpinan NU di berbagai tingkatan yang semakin kuat dicampuri oleh pihak-pihak dari luar NU demi kepentingan politik sesaat. Misalnya, saat pilkada.

Dari sumber dokumentasi yang dikirim oleh Wasekjen Pengurus Besar NU M Sulthon Fathoni, saat itu  pertarungan-pertarungan dalam forum-forum permusyawaratan NU di berbagai tingkatan itu hampir selalu melibatkan politik uang untuk jual beli suara.

Pada waktu itu, PWNU Jawa Timur hendak menerapkan model Ahwa dalam Konferensi Wilayah mereka. Tapi, karena belum ada payung hukum yang memadai, PBNU meminta agar maksud itu ditunda.

Selanjutnya, dalam Rapat Pleno ke-2 PBNU di Wonosobo, tanggal 6-8 September 2013, Rais 'Aam PBNU KH M. A. Sahal Mahfudh rahimahullah memerintahkan agar PBNU segera memproses gagasan tentang Ahwa itu menjadi aturan yang dapat diterapkan dalam pemilihan kepemimpinan di seluruh jajaran kepengurusan NU.

Berdasarkan perintah Rais ‘Aam tersebut kemudian dibentuklan satu tim khusus, dipimpin oleh Rois Syuriah PBNU KH Masdar F. Mas'udi dan Wakil Sekjen PBNU Abdul Mun'im DZ.

Tim itu segera melaksanakan penelitian dan kajian-kajian hingga dihasilkan suatu naskah akademis yang cukup mendalam. Mencakup landasan nilai-nilai keagamaan, dasar-dasar filosofis, acuan historis hingga pertimbangan-pertimbangan terkait dinamika sosial-politik mutakhir yang mengharuskan diterapkannya model Ahwa.

Naskah akademis tersebut kemudian dibahas dalam Munas dan Konbes ke-2 pada tanggal 2 -3 November 2014 di Jakarta. Hasilnya adalah kesepakatan bahwa:

1.    Munas dan Konbes menyepakati dan menetapkan digunakannya sistem Ahlwa dalam pemilihan kepemimpinan NU, tapi penerapannya dilaksanakan dengan cara bertahap untuk mengidentifikasi hal-hal yang perlu disempurnakan di masa depan, dimulai dengan pemilihan/penetapan Rais 'Aam dan rais-rais syuriah di semua tingkatan. Sedangkan untuk Ketua Umum dan ketua-ketua tanfidziah masih dengan pemilihan langsung;

2.    Munas dan Konbes memberi mandat kepada PBNU untuk menyusun aturan operasional bagi penerapannya untuk dibahas lebih lanjut menjadi produk aturan yang berlaku efektif.

Maka Munas Alim Ulama ke-3 pada tanggal 14 – 15 Juni 2015 di Jakarta diselenggarakan sebagai pelaksanaan mandat/perintah dari keputusan Munas dan Konbes ke-2 tahun 2014 tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement