Rabu 23 May 2018 14:47 WIB

Halal Menjadi Gaya Hidup

Semua produk beredar di pasar wajib bersertifikasi halal pada Oktober 2019 mendatang.

Rep: Novita Intan/ Red: Agung Sasongko
 Pengunjung melihat produk yang dipamerkan dalam pembukaan Indonesia Halal Business & Food (IHBF) Expo di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Jumat (4/12).  (Republika/Agung Supriyanto)
Pengunjung melihat produk yang dipamerkan dalam pembukaan Indonesia Halal Business & Food (IHBF) Expo di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Jumat (4/12). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Halal Watch mengimbau umat Islam agar berbuka puasa di gerai makanan yang telah bersertfikat halal. Hal ini dalam rangka ikut edukasi dan sosialisasi sistem jaminan halal sesuai amanat Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Direktur Eksekutif IndonesiaHalal Watch, Ikhsan Abdullah mengatakan imbauan ini bukan semata-mata untuk memboikot beberapa gerai makanan yang tidak memiliki logo sertifikasi halal, yang dikeluarkan LPPOM MUI.

"Sebaiknya jangan masuk ke gerai makanan yang tidak memiliki logo sertifikat halal yang dikeluarkan LPPOM MUI," ujarnya kepada Republika.co.id usai acara Silahturahmi Indonesia Halal Watch di Restoran DConsulate Lounge, Jakarta, kemarin malam.

photo
Halal

"Saya mengajak untuk menghindari bukan untuk memboikot. Bukan hanya terkait Islam, tetapi menjadi kebutuhan akan jasmani mengonsumsi makanan halal," kata dia.

Menurutnya,dengan membiasakan makan di gerai makanan bersertifikat halal diharapkan restoran bisa memperjelas halal tidaknya makanan yang disajikannya untuk parakonsumen.

"Dan menjadikan halal menjadi bagian dari gaya hidup,"ujarnya.

Gerakan ini guna mendukung semua produk beredar di pasar wajib bersertifikasi halal pada Oktober 2019 mendatang. Adapun produk yang tidak bersertifikasi halal, para pelaku bisnis itu bukan hanya didenda sebesar Rp5 miliar tetapi juga akan dihukum empat tahun penjara.

Untuk itu, ia meminta pemerintah dapat segera menerbitkan Peraturan Pelaksana Jaminan Produk Halal agar Undang-Undang Jaminan Produk Halal dapat dijalankan. "Sehingga ada kejelasan peran aktif dari BPJPH dan bagaimana skema proses sertifikasi halal," jelasnya.

Ia menjelaskan, para pelaku usaha sepakat agar pemerintah menjalankan Pasal 59 dan Pasal 60 Undang-Undang Jaminan Produk Halal, di mana pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikasi Halal dilakukan sesuai dengan tata cara Sertifikasi Halal oleh MUI melalui LPPOM-MUI, dikarenakan BPJPH sampai saat ini belum siap.

photo
Halal

Kemudian, diperlukan juga ketentuan yang jelas peralihan penggunaan logo halal MUI ke logo halal BPJPH. Sehingga tidak ada masa tumpang tindih antara logo tersebut.

"Jika terjadi perubahan logo halal, maka diberikan tahapan untuk produk yang sudah beredar danbersertifikasi, sehingga tidak merugikan dunia usaha,"ungkapnya.

Ia menyebut, hal paling penting dengan memberikan tahapan pelaksanaan sertifikasi halal, bagi pelaku industri terutama untuk produk obat vaksin, produk biologi maupun suplemen,mengingat begitu kompleksnya proses pembuatan obat dan farmasi.

Sebaliknya BPJPH bersinergi dengan LPPOM MUI, dengan menerapkan sistem sertifikasi online dengan mengacu kepada system yang telah digunakan oleh LPPOM MUI sampai saat ini (CEROL) agar dalam masa peralihan pelakuusaha tidak dirugikan.

"Masalah yang harus dihadapi dalam pemberlakuan UU JPH ini adalah BPJPH yang dibentuk dan di bawah kementerian, pada pelaksanaan tugas, wewenang, dan fungsinya, dapat dianggap sebagai pembatasan impor dan perdagangan yang diberlakukan oleh pemerintah,yang dapat dianggap sebagai tindakan diskriminatif dalam pelaksanaan ekspor-impor di Indonesia,"ungkapnya

photo
WTO

Di sisi lain, ia juga meminta pemerintah harus siap untuk menghadapi gugatan-gugatan dari negara yang meratifikasi WTO sebagai konsekuensi sertifikasi halal yang diterbitkan olehpemerintah. Sebab, kedudukan BPJPH berada di bawah Kementerian Agama dapat menjadi pemicu Negara Anggota WTO lainnya untuk mengajukan sengketa perdagangan Internasional dalam bentuk gugatan atas tindakan yang melanggar ketentuanperdagangan bebas yang selama ini diterapkan di hampir di seluruh negara didunia.

Maka sebaiknya campur tangan pemerintah dalam melaksanakan sertifikasi halal harus dibatasi. Hal ini untuk menghindarkan Indonesia dari sengketa dan gugatan yang diajukan oleh Negara anggota, Indonesia harus menyesuaikan regulasi dan peraturan yang sudahada dan berlaku, sehingga kepentingan Indonesia dalam melindungi bangsa dan negara terakomodasi dengan baik.

Ia mencontohkan, kasus gugatan Brasil kepada Indonesia mengenai pengimporan daging ayam dan produk-produk dari ayam ke Indonesia, yang mana salah satu poinnya yaitu bahwa, Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal dan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor139/Permentan/PD.410/12/2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia (INDONESIA MEASURESCONCERNING THE IMPORTATION OF CHICKEN MEAT AND CHICKEN PRODUCTS (WT/DS484/8)).

Brasil menganggap bahwa undang-undang tersebut dianggap sebagai cara untuk melarang impor daging ayamdan produk-produk ayam, dan bahwa persyaratan penyembelihan dan pelabelan halal bersifat diskriminatif.

Selain itu, Amerika Serikat dan Selandia Baru mengajukan permohonan konsultasi dengan Indonesia ke WTO dengan nomor perkara DS477 dan DS478 mengenai tindakan-tindakan tertentu yangdikenakannya pada impor produk hortikultura, hewan dan produk hewani.

photo
Ayam potong

Beberapa kebijakan yang diprotes oleh Selandia Baru dan Amerika Serikat adalah tentang tindakan rezim perizinan impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan,serta tentang tindakan larangan dan pembatasan impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan melalui pensyaratan impor pada ketidakcukupan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Keputusan Majelis Panel WTO yang diumumkan pada 22 Desember 2016, setuju dengan gugatan Selandia Baru dan Amerika Serikat dan mengabulkan gugatan kedua Negara tersebut. Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang menyatakan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, maka negara mengatur sertifikasi halal dari sukarela (voluntary) menjadi wajib (mandatory).

Karena Negara memberlakukan sistem mandatory atau mewajibkan sertifikasi halal, maka menjadi kewajiban dan konsekuensi bagi negara untuk membantu membiayaisertifikasi halal bagi pelaku usaha khususnya produk UKM.

Seperti yang dilakukan beberapa negara seperti Korea Selatan dan Taiwan, kedua negara tersebut memberikan subsidi penuh bagi pengusaha yang akan melakukan sertifikasi halal, apalagi untuk tujuan ekspor ke negara-negara kawasan Asia Tenggara khususnya Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.

photo
Deretan restoran halal di kawasan

Pemerintah Korea Selatan memberikan subsidi sekitar 80.000 Won atau setara Rp 80.000.000 untuk biaya sertifikasi halal per tahun per pengusaha. Negara Taiwan pemerintahnya juga memberikan subsidi kepada pengusahanya yang akan memperoleh sertifikat halal, sesuai dengan kebijakan pemerintah Taiwan yaitu New Southbound Policy (mengutamakan ekspor ke negara-negara Kawasan Asia Tenggara), terutama untuk tujuan eksport ke Indonesia pelaku usaha disubsidi 100.000 NT atau setara Rp 44.000.000 per tahun per pengusaha.

Terkait dengan Mandatory Sertifikasi Halal, maka perlu dilakukan peninjauan kembali batas pelaksanaan Undang-Undang Jaminan Produk Halal dan road map yang jelas mengenai pelaksanaan UU JPH, peningkatan sosialisasi, dan edukasi ke pelaku usaha dan UMKM.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement