Jumat 28 Apr 2017 16:30 WIB

Ahli Ekonomi Utsmaniyah Sempurnakan Tata Kelola Wakaf

Era Dinasti Ottoman.
Foto: Aksitarih.com
Era Dinasti Ottoman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dari waktu ke waktu, para ulama dan ahli ekonomi Ottoman berpikir keras untuk terus mengembangkan dan menyempurnakan tata kelola perwakafan. Salah satu contoh adalah munculnya perdebatan tentang boleh atau tidak pemberi wakaf meminta aset atau dananya kembali.

Beberapa ulama, seperti Abu Hanife, berpendapat hal itu bisa dilakukan. Tapi, ulama yang lain, yakni Ebu Yusuf, kurang sependapat. Dia merujuk pada praktik yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat. Ia menegaskan, mereka mengikhlaskan harta yang sudah diwakafkan demi kepentingan agama.

Perbedaan pendapat ini terus mengemuka di antara para ulama terkemuka Mazhab Hanafi. Hingga akhirnya, pihak pengadilan merasa perlu bersikap, menyusul banyaknya kasus yang masuk.  Menurut Profesor Murat Cizakca dari Fatih University, pengadilan lalu ikut campur dengan mengeluarkan keputusan tegas. 

Pengadilan menekankan bahwa mereka yang sudah memberikan hartanya untuk wakaf tidak diperkenankan mengklaim atau mengambilnya kembali. Aturan ini dibakukan dan menjadi acuan di seluruh dunia Islam sampai era selanjutnya. Masalah lainnya mengemuka terkait aset wakaf tanah atau bangunan. 

Pada saat terjadi kebakaran, gempa besar, atau kekeringan, otomatis aset itu tidak produktif lagi. Masalah ini dibahas dalam catatan harian Mohammad el-Fadl dan Ca’fer al-Hindawani, dua ulama Mazhab Hanafi yang terkenal. Mereka menganggap hal itu sebagai sebuah kondisi darurat. 

Untuk membangunnya kembali, butuh dana besar dan sulit ditanggung oleh sumber dana wakaf yang ada. Oleh sebab itu, dimungkinkan untuk mekanisme memperpanjang masa sewa kepada peminjam. Ini diadopsi sebagai yurisprudensi pada 1611-1612. Untuk pertama kali sejak abad ke-10 diberlakukan penyewaan aset wakaf jangka panjang.

Disarikan dari Dialog Jumat Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement