Senin 16 Jan 2017 08:40 WIB

Kroni Penguasa, Amanah Kekuasaan, dan Teladan Umar Bin Abdul Azis

Pada era Abu Bakar Ash-Shiddiq, khalifah dipilih lewat musyawarah.
Foto:
Lapangan St Peter di Vatikan.

Masa pemerintahan UBA memang singkat, cuma dua tahun lima bulan. Dalam masa pendek itu, kemiskinan dihapus. Bukan semua jadi kaya. Tapi penduduk negeri berkata: “Kami ikhlas, kami rela punya pimpinan seperti UBA. Kami tak akan lagi meminta-minta. Karena khalifah pun tak lebih baik ketimbang kami.”

Kaya miskin memang bukan tentukan saleh tidaknya. Sejak jadi khalifah, relung hati UBA bergetar: “Siapa yang akan bebaskan aku di hari kiamat dari tuntutan orang kelaparan, rintihan orang sakit, derita perempuan teraniaya ditinggal mati suaminya, dan jeritan anak-anak yatim dan miskin.”

Maka tiap kembali ke rumah, UBA selalu menangis di atas sajadahnya: “Ya ummati, ya ummati”. Dari orang yang dahulu sempat kaya raya dan kemudian menjadi penguasa (khalifah), UBA wafat dengan hanya meninggalkan 40 dinar saja.

Kabar meninggalnya sang khalifah pun sampai ke telinga Paus yang ada di Roma (Vatikan). Paus pun menulis surat berisi kesan dia mengenai UBA. Surat itu berbunyi singkat saja: “Telah wafat seorang raja yang amat bijaksana yang pernah ada di muka bumi ini.”

Saya merenung lagi. Mungkinkah di Indonesia lahir seorang pemimpin seperti Umar bin Abdul Azis?

Wallahu a’lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement