Selasa 30 Jan 2018 16:48 WIB

Membatalkan Khitbah, Bolehkah?

Khitbah atau pinangan merupakan salah satu persiapan menuju pernikahan.

Pernikahan Ilustrasi
Foto: Republika/Prayogi
Pernikahan Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Khitbah atau pinangan merupakan salah satu persiapan menuju per nikahan yang disyariatkan Allah SWT dan dicontohkan Nabi SAW.

Khitbah bermakna sebagai permintaan seorang laki-laki kepada wanita untuk dinikahi.

Nabi meminang untuk dirinya dan untuk orang lain, seperti dia meminang Aisyah binti Abu Bakar dan Hafsah binti Umar bin Khattab.

Sebelum terlaksananya akad nikah, untuk menambah pengetahuan dan pengenalan calon suami dan istri, khitbah dilakukan. Lewat khitbah, calon suami akan mengenal watak, perilaku dan kecenderungan calon istri dan sebaliknya. Harapannya, kedua pasangan dapat memasuki kehidupan perkawinan kelak dengan hati dan perasaan yang lebih mantap.

"Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta ka sih) antara kalian berdua. "(HR at-Tar midzi).

Persyaratan khitbah yang harus dipenuhi yakni tidak adanya ham- batan syari berdasar kan ketentuan syariat yang tidak memboleh kan perkawinan antar mereka.

Misalnya, jika perem- puan itu masih dalam masa iddah (masa menunggu sebelum dibolehkan meni kah lagi).

Sebagai langkah pertama dalam pernikahan, khitbah disertai juga dengan pemberian hadiah sebagai lambang akan berlanjutnya hubungan antara kedua calon suami istri sampai ke pelaminan.

Namun, ada kalanya karena suatu sebab tertentu, hubungan terpaksa di putuskan sebelum berlangsungnya akad pernika- han baik oleh pihak lelaki atau perem- puan.

Bagaimana hukum membatalkan khitbah tersebut?

Mengingat bahwa khitbah baru merupakan janji untuk menikah dan bukan satu akad yang mengikat dengan pasti maka masing-masing pihak tetap me miliki hak untuk membatalkannya. Apabila terdapat suatu alasan yang memaksa.

Dalam pada itu, walau syariat tidak menetapkan suatu hukuman materi bagi siapa yang melanggar janji, tetapi menanggap- nya sebagai suatu perbuatan amat tercela. Nabi SAW pernah bersabda da lam se buah hadis shahih.

Tiga tanda seorang munafik: Apabila berbicara, dia berbohong, apabila berjanji dia melanggar janjinya itu; dan apabila diberi amanat, dia berkhianat.

Dilansir dari buku Panduan Lengkap Muamalahkarangan Muhammad Bagir, hadiah-hadiah yang telah diberikan dapat dibagi menjadi dua bagian mana kala terjadi pembatalan khitbah.

Pertama, jika itu merupakan hadiah yang diberikan berkaitan dengan pinangan tersebut atau diharapkan adanya imbal an berupa perkawinan dengan perempuan yang dipinang.

Lantas pinangan itu dibatalkan pihak perempuan, si calon suami berhak untuk memintanya kem bali mengingat bahwa imbalan itu kini tidak dapat berlangsung.

Kedua, jika itu merupakan hadiah biasa maka dihukumkan sebagai hibah murni. Karena itu, si pemberi tidak berhak memintanya kembali. Sebab, otomatis hadiah itu telah menjadi hak miliknya. Sejak itu, dia berhak melaku kan apa saja atas miliknya tersebut. Wallahu a'lam.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement