Senin 20 Mar 2017 09:05 WIB

Wanita-Pria Bersentuhan Kulit, Batalkah Wudhunya?

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko
Berwudhu/Ilustrasi
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Berwudhu/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Allah menciptakan setiap makhluk berbeda-beda. Demikian juga dengan manusia. Manusia diciptakan secara berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan (QS an-Najm [53]: 45, an-Naba [78]: 8). Tujuannya agar mereka saling kenal mengenal (QS al-Hujurat [49]: 13), saling mengingat kebesaran Allah (QS adz-Dzaariat [51]: 49), dan hanya menyembah kepada Allah SWT (QS al-Bayyinah [78]: 5, adz-Dzaariat [51]: 56).

Mereka diciptakan oleh Allah SWT untuk saling melengkapi, saling menyayangi, mengasihi, dan meneruskan keturunan (anak). Untuk itu, Islam mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan. Agar hubungan itu terbina dengan baik, maka keduanya harus menikah. Sebelum menikah ada proses khitbah (meminang) atau saling kenal.

Pertanyaannya, apakah seorang laki-laki dan perempuan yang telah diikat oleh sebuah tali pernikahan, bila mereka telah berwudhu lalu bersentuhan kulit akan membatalkan wudhunya?

Dalil yang dijadikan dasar dari persoalan ini adalah surah al-Maidah [5] ayat 6.

''Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.''

Lalu, apakah maksud dari kata 'menyentuh wanita' (laamastum an-nisaa') itu? Dalil ini, pada dasarnya adalah dalam konteks wudhu. Para ulama, berbeda pendapat mengenai larangan menyentuh perempuan yang menyebabkan batalnya wudhu.

Menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama, kata lamastum an-nisaa` dalam ayat di atas artinya adalah menyentuh. Maka, apabila menyentuh perempuan, hukumnya membatalkan wudhu. Siapa pun orangnya, baik yang menyentuh maupun yang tersentuh, keduanya wajib berwudhu.

Selain ayat di atas, dalil yang dipergunakan adalah bersumber dari Ma'qil bin Yasar. Nabi SAW, bersabda: ''Sesungguhnya, ditusuknya kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum besi, itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.'' (HR Thabrani dalam Al-Kabir XX/211 dengan isnad hasan, dan HR Baihaqi).

Dalam hadis lain disebutkan, ''Siapa yang menyentuh telapak tangan wanita tanpa alasan yang membolehkan maka akan diletakkan di atas tangannya bara api di hari kiamat.''

Pendapat ini dianut oleh mazhab Syafii. Mereka berargumentasi, larangan bersentuhan dengan orang yang bukan muhrimnya sebagai bentuk kehati-hatian. Namun, apabila orang yang sentuhan itu ada pembatas (kain), hal itu tidak membatalkan.

Ulama Malikiyah (ulama yang bermazhab Maliki) berpendapat, yang dimaksud dengan kata laamastum an-nisaa' dalam surah al-Maidah ayat 6 adalah laamisa (saling menyentuh). Karena itu, menurut mazhab ini, jika hanya satu orang saja yang menyentuh, dan yang lain tidak menyentuh maka hukumnya tidak membatalkan wudhu.

Sementara itu, para mufasir (ahli tafsir) berpendapat, yang dimaksud dengan kata laamastum an-nisaa' di atas, maknanya adalah menyetubuhi. Karena itu, menurut mereka, yang dimaksud dengan membatalkan wudlu adalah apabila menyetubuhi seorang perempuan. Pendapat ini didukung oleh ulama Hanafiyah (ulama yang menganut mazhab Hanafi).

Ulama Hanabilah (golongan Hanbali) berpendapat, tidaklah membatalkan wudhu apabila menyentuh perempuan yang bukan muhrimnya, selama tidak disertai dengan syahwat. Namun, bila disertai dengan syahwat, wudhunya menjadi batal.

Bagaimana hukumnya bila yang menyentuh kulit itu suami atau istri, anak, orang tua, mertua, saudara ipar, dan anggota muhrim lainnya?

Menurut sejumlah ulama, bersentuhan kulit dengan saudara ipar, menyentuh suami (atau istri), hukumnya batal. Namun, hal itu tidak membatalkan wudhu, apabila menyentuh anak laki-laki atau perempuan.

Namun, ulama lainnya menolak pendapat di atas. Menurut mereka, menyentuh kulit istri, bahkan menciumnya, tidaklah membatalkan wudhu.

Argumentasi ini didasarkan pada pengalaman Rasul SAW saat melaksanakan shalat malam. Ketika itu, ummu al-Mukminin, Siti Aisyah RA yang juga istri Rasul SAW, meletakkan kakinya di atas sajadah Rasul. Saat akan sujud, Rasul SAW memindahkan kaki Siti Aisyah, dan Rasul tetap meneruskan shalatnya tanpa berwudhu.

Disebutkan pula dalam suatu kesempatan Rasul SAW pernah mencium salah seorang istrinya, saat akan shalat. Dalam riwayat lain, saat berpuasa. Dan Rasul melaksanakan shalatnya, serta tidak mengulangi wudhunya.

Jadi, menurut ulama Hanabilah, menyentuh kulit istri tidak akan membatalkan wudhu. Begitu juga menyentuh ibu mertua, atau saudara ipar. Sebab, mereka sudah menjadi bagian dari anggota keluarga yang haram dinikahi, karena ia sudah menikah dengan istrinya yang merupakan bagian dari anggota keluarga itu.

Sejumlah ulama lain, juga mengungkapkan pendapat senada. Seorang istri yang menyentuh kulit suami atau suami yang menyentuh kulit istri, tidak membatalkan wudlu. Sebab, keduanya sudah diikat oleh sebuah pertalian ijab kabul (akad) saat menikah.

Sebelum keduanya menikah, awalnya segala sesuatu diharamkan atas mereka. Namun, saat ijab kabul telah diucapkan, mereka tidak dibolehkan, termasuk berhubungan badan. Inilah sejumlah alasan ulama yang menyatakan bahwa menyentuh kulit istri atau suami tidaklah membatalkan wudhu. Wallahu a'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement