Sabtu 26 Dec 2015 22:30 WIB

Berhati-hatilah Umbar Mubahalah Ini Risikonya

Seorang peziarah berdoa di depan makam sanak saudaranya di kompleks pemakaman Pejaten Barat, Jakarta Selatan.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Seorang peziarah berdoa di depan makam sanak saudaranya di kompleks pemakaman Pejaten Barat, Jakarta Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, Mubahalah, atau bersumpah untuk menujukkan siapa yang berada di atas kebenaran dan pihak menakah yang duduk di atas kebatilan, belakangan kerap dijadikan senjata oleh sebagian kalangan untuk memojokkan lawan debatnya sesama Muslim. Tak terkecuali menuduh saudara Sunni kita sedang bertaqiyah Syiah secara membabi-buta.  

Hukum mubahalah diperbolehkan. Ini merujuk ayat ke-61 surah Ali Imran : “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”

Bahkan, menurut Ibn al-Qayyim dalam kitabnya Zaad al-Ma’ad, hukumnya sunah, bila mendapati mereka yang ngeyel dan angkuh untuk mengakui kekuatan dalil-dalil yang telah disuguhkan, maka hendaknya mengajak bermubahalah. Hukum bermubahalah pun tak hanya berlaku untuk Rasulullah SAW, tetapi juga umatnya.   

Meski secara hukum diperbolehkan, namun, bukan berarti kita gampang begitu saja mengumbarnya. Ingat, konsekuensi yang diakibatkan dari mubahalah sangat besar, bahkan berujung kepada kematian. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, mengisahkan, menurut pengalaman di lapangan, pihak yang bermubahalah dan ternyata dialah yang salah, tak akan melewati masa hidupnya dari setahun, terhitung dari hari pelaksanaan mubahalah. “Pengalaman itu pernah terjadi padaku, ketika itu seorang ateis fanatis bermubahalah denganku, selang dua bulan, ia meninggal,” tutur Ibnu Hajar.   

Riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas RA menguatkan hal itu. Penentang dakwah Rasulullah SAW yang bermubahalah, begitu mereka pulang usai mengeluarkan pernyataan mubahalah, mereka kehilangan harta dan keluarga mereka.

Pada masa kini, mubahalah juga terbukti ketika Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku nabi, berdebat dengan Syekh Tsanaullah al-Amrtasari. Keduanya saling bermubahalah. Atas seizin Allah SWT, Mirza Sang pendiri Ahmadiyah itu meninggal dunia setahun usai peristiwa mubahalah. Masihkah kita, dengan mudah mengucapkan mubahalah setelah mengetahui konsekuensi besar itu? Semoga Allah senantiasa menjaga kita.  

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement