Ahad 04 Oct 2015 10:16 WIB

Suami Berutang, Siapa yang Bayar?

Berutang di bank (ilustrasi).
Foto: Antara/Widodo S Jusuf
Berutang di bank (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam kehidupan berumah tangga, kondisi ekonomi keluarga tak selamanya stabil, bahkan membaik. Sering kali, suami, sebagai kepala rumah tangga, memeras otak dan tenaga untuk 'gali lubang' mencari pinjaman di sana-sini. Utang pun acap kali menggunung. Tetapi, bagaimana bila ajal menjemput sang suami, sementara utang tersebut belum jua terbayar?

Berdasarkan fatwa yang pernah dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta) Mesir, tanggungan itu, tidak serta-merta berpindah ke ahli waris. Bila tak terbayar, maka kewajiban utang itu menjadi tanggungan almarhum yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Istri tidak memiliki kewajiban apa pun menanggung dan memenuhi utang almarhum suaminya.

Jika dalam kasus seperti ini, sebaiknya utang tersebut ditutupi dari harta warisan almarhum suami. Karenanya, Islam menekankan agar sebelum pembagian harta waris, hendaknya utang dan wasiat didahulukan agar ditunaikan lebih dulu. Ini seperti yang ditegaskan dalam ayat: ” 

(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.” (QS an-Nisaa' [4]: 11). Kecuali, jika memang Anda, para istri merelakan harta untuk dialosikan menutup utang almarhum. Ini merupakan bentuk tolong-menolong dalam kewajiban.

Ketentuan serupa juga berlaku dalam kasus yang berutang dan meninggal adalah pihak istri. Suami yang ditinggalkan tidak secara otomatis menanggung beban tersebut.

Prof Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang berjudul al-Mufashal fi ahkam al-Marati menegaskan, pada dasarnya perempuan memiliki otoritas pengelolaan uang yang ia peroleh dari mata pencariannya sendiri. Ia berhak mendayagunakan apa pun sesuai dengan keinginannya, tanpa intervensi dari pihak manapun. Ini banyak ditegaskan di sejumlah ayat dan hadis Rasulullah SAW. Salah satu hadis itu, seperti kisah Barirah yang dinukilkan oleh Aisyah.

Lalu, timbul pertanyaan, bolehkah istri mengalokasikan zakat ataupun sedekahnya untuk membayar utang suami yang telah berpulang?

Para ulama berbeda pendapat. Menurut kelompok yang pertama, pengalokasian dana zakat untuk suami yang dililit utang diperbolehkan. Ini dengan catatan, selama kriteria seorang yang pailit akibat utang (gharim) terpenuhi. Pandangan ini dianut oleh Mazhab Maliki, Syafii, dan Hanbali di salah satu riwayat.

Ibnu Taimiyah juga mengamini opsi ini. Imam ad-Dasuqi menambahkan,  pengalokasian dana zakat hendaknya mengedepankan utang mereka yang meninggal dalam kondisi di atas, dibandingkan dengan utang mereka yang masih hidup.

Ini sesuai dengan ketetapan yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Rasul mengizinkan Zainab menyerahkan zakat malnya untuk Abdullah bin Mas'ud yang tak lain suaminya sendiri. “Ada dua pahala, pahala kekerabatan dan pahala sedekah,” sabda Rasul.     

Sedangkan menurut kelompok yang kedua, zakat mal tersebut tidak boleh diperuntukkan membayar utang-utang almarhum suami tersebut. Opsi ini adalah pilihan sejumlah mazhab yakni Hanafi, salah satu riwayat di Mazhab Syafii dan Hanbali.

Sumber: Pusat Data Republika/Nashih Nasrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement