REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam memandang mulia peran ibu. Bahkan, kedudukan ibu lebih utama dibandingkan dengan ayah.
Dikisahkan, seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Muhammad SAW. Pria itu lalu bertanya kepada beliau tentang siapa yang lebih berhak untuk diperlakukan secara baik.
Jawab beliau: "'ibumu." Jawaban itu diulangi hingga tiga kali, barulah kemudian disebutnya, "ayahmu."
Dr Abdullah Nashin Ulwan dalam bukunya, Pendidikan Sosial Anak, menyebut dua sebab mengapa ibu diprioritaskan. Pertama, sosok ibu lebih banyak memperhatikan sang anak, yakni mulai dirinya hamil, melahirkan, menyusui, merawat, dan mendidik buah hati.
Fenomena itu pun telah disinggung Alquran, misalnya surah Luqman ayat 14, yang artinya "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu."
Kedua, dalam sosok ibu terdapat ikatan batin, cinta, lemah-lembut, kasih sayang, dan kecenderungan untuk selalu memerhatikan sang buah hati.
Alquran pun telah memberi peringatan. Lihat, misalnya, surah al-Isra' ayat ke-23. Satu kata saja--semisal "ah!"--sudah berpotensi menciderai hati ibunda atau orang tua umumnya.
Karena itu, wajarlah bila Islam menyuruh umat agar berbakti kepada orang tua, khususnya ibu. Namun, bagaimana jika sang ibu sudah meninggal dunia? Masihkah ada kesempatan untuk anaknya (terus) berbakti?
Dinukil sari buku Menjadi Manusia Luhur karya Arjuna Wibowo, ada berbagai cara bagi anak untuk bisa berbakti kepada ibu yang sudah meninggal dunia. Di antaranya adalah terus berupaya meningkatkan iman dan ketakwaan kepada Allah.
Kemudian, anak dapat bersedekah dengan meniatkan pahalanya untuk ibu. Ini berdasarkan dalil hadis berikut.




