REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkembangan teknologi digital telah mengubah berbagai aspek kehidupan masyarakat. Di balik beragam manfaat yang ada, bagaimanapun, internet juga menimbulkan sejumlah dampak negatif yang tidak dapat diabaikan. Di antaranya adalah konten kekerasan yang muncul di platform-platform media sosial (medsos) dan gim (game) daring. Bukan hanya orang dewasa, anak-anak pun kini mudah terpapar jenis konten tersebut.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Nasyiatul 'Aisyiyah, Ariati Dina Puspitasari, mengatakan, berbagai penelitian telah menegaskan pengaruh penggunaan gawai (gadget) terhadap tumbuh kembang anak, baik dari sisi mentalitas maupun kognitif. Oleh karena itu, anak-anak perlu dicegah dari mengakses konten-konten negatif di internet, yang tidak hanya menampilkan kekerasan fisik, tetapi juga mengarah pada kekerasan verbal, seksual, hingga pornografi.
"Kami sangat prihatin dengan fenomena tersebut dan kami setuju sekali dengan para pakar ataupun ahli yang menyampaikan bahwa game-game ini ataupun konten-konten negatif ini akan menghambat pertumbuhan anak, khususnya mentalitas dan juga kognitif," ujar Ariati Dina Puspitasari kepada Republika, Selasa (25/11/2025).
Nasyiatul 'Aisyiyah melalui pendampingan langsung terhadap anak-anak dan diskusi dengan orang tua menemukan adanya korelasi antara frekuensi anak-anak melihat konten-konten medsos dan penurunan konsentrasi belajar mereka. Lebih lanjut, dampak konten kekerasan di medsos juga memicu perilaku negatif yang diadopsi mentah-mentah oleh anak, bahkan sejak usia dini.
Menurut Ariati, anak-anak cenderung melakukan kekerasan verbal dengan ucapan-ucapan yang diperolehnya setelah menonton konten negatif di medsos. Sering kali, mereka tidak menyadari bahwa perkataan itu mengandung unsur kekerasan.
"Anak-anak terutama usia dini itu kadang-kadang mereka tiba-tiba bicara suatu kalimat atau kata yang negatif yang memiliki unsur kekerasan (verbal), padahal mereka itu enggak tahu bahwa itu termasuk kekerasan (verbal)," ujarnya.
Perilaku meniru tontonan konten negatif sering kali berujung pada tindakan perundungan (bullying) di antara sesama anak. Bahkan, lanjut Ariati, fenomena ini pun sudah dijumpai pada anak-anak di tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD). Mereka cenderung mengikuti perilaku-perilaku tidak baik yang mereka lihat dari konten medsos dan gim daring (online) yang dikonsumsinya tanpa pendampingan ataupun penjelasan dari orang tua.
"Anak-anak yang masih PAUD itu sangat imitasi. Meniru apa-apa yang mereka dengar, mereka lihat. Ini tentu menjadi keprihatinan bagi kami," tegasnya.
Karena itu, kurangnya pendampingan orang tua saat anak mengakses media digital menjadi sebuah problem krusial. Terlebih lagi, anak-anak tidak sekadar menonton potongan (short) video atau konten kekerasan, melainkan juga menyerapnya dalam memori sebagai sesuatu yang "normal" untuk dilakukan.
Pentingnya regulasi yang tepat
Menanggapi kondisi darurat ini, Nasyiatul 'Aisyiyah mendorong adanya regulasi yang tepat dari negara. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI dapat merumuskan kebijakan yang lebih memadai dalam membatasi konten-konten kekerasan agar tidak terjangkau anak-anak.
"Kami sangat berharap bahwa ada regulasi dari Komdigi untuk bagaimana caranya supaya bisa di-banned (dilarang) situs-situs yang mengarah kepada kekerasan, apa pun jenis kekerasannya: fisik, verbal, seksual," kata Ariati.
Jika tidak diantisipasi sejak dini, dampak konten kekerasan dari medsos dan gim online akan sangat berbahaya bagi tumbuh kembang anak. Ariati mencontohkan, anak yang terpapar konten-konten bernuansa seksual akan mengingatnya terus dan menyimpan rasa penasaran hingga usianya remaja dan dewasa. Maka, ada potensi bahwa si anak tidak hanya pasif menjadi penonton konten, melainkan juga kelak menjadi pelaku kekerasan seksual. Karena itu, penanganan yang tepat perlu segera dilakukan.
Di samping peran negara, perlu juga kontribusi dari publik, termasuk organisasi-organisasi (ormas) keagamaan. Nasyiatul 'Aisyiyah, misalnya, terus menggencarkan edukasi keluarga dan gerakan literasi digital untuk melindungi anak-anak dari paparan konten negatif.
"Kami yang sudah kami lakukan di Nasyiatul Aisyiyah itu kami pakai edukasi. Itu yang paling utama, edukasi ke masyarakat, ke anggota, melalui digital," jelasnya.
Nasyiatul Aisyiyah telah memiliki program yaitu Rumah Literasi Nasyiatul Aisyiyah (Ralina). Di sini, ormas tersebut secara berkala mendampingi orang tua dan anak untuk meningkatkan literasi dalam menghadapi pelbagai tantangan di era digital.
Tidak cukup dengan fatwa
Ariati berpendapat, fatwa dari otoritas keagamaan mungkin saja menjadi sebuah landasan moral untuk mencegah paparan konten negatif pada anak-anak. Namun, implementasi di lapangan lebih urgen untuk diberi perhatian.
Di lingkungan Muhammadiyah, lanjutnya, sudah ada panduan berupa fikih digital atau akhlak bermedia sosial. Persyarikatan pun terus menggencarkan penguatan konten-konten positif di media sosial. Harapannya, sebaran konten-konten itu dapat menutup konten-konten negatif bagi pengakses medsos.
"Akan lebih baik jika itu secara masif digempur dengan ada konten-konten positif yang kemudian bisa menutup konten-konten negatif tadi. Dengan unggahan-unggahan bentuknya penyadaran," ujar Ariati.
Ia pun menegaskan, upaya perbaikan ekosistem digital harus berfokus pada penyadaran untuk mengubah perilaku. Ini bukan hanya pada tingkat penonton, melainkan juga para pembuat konten (content creators).
Mereka perlu diarahkan agar menghasilkan materi yang lebih baik, konstruktif, dan edukatif. Hal itu sekaligus memperbanyak jumlah konten positif agar dapat sekurang-kurangnya menyeimbangkan dominasi konten negatif yang selama ini beredar.




