REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syariat Islam tidak pernah menyepelekan perkara utang. Bahkan, roh seorang Muslim akan "tertahan" bilamana ia memiliki utang yang belum dilunasi hingga akhir hayatnya.
Nabi Muhammad SAW pernah diundang untuk memimpin shalat jenazah seorang Mukmin. Sebelum ibadah dimulai, Rasulullah SAW menanyakan kepada pihak keluarga, apakah almarhum masih memiliki tanggungan utang dan adakah yang bersedia menanggungnya.
Hampir saja Nabi SAW tidak jadi memimpin shalat jenazah. Barulah ketika ada yang menyatakan mau menanggung utang si almarhum, beliau akhirnya mau menshalatkannya.
"Nabi bersabda, 'Shalatkanlah saudara kalian ini.' Kemudian, Abu Qatadah berkata, 'Shalatkanlah dia, wahai Rasulullah. Utangnya menjadi tanggunganku.' Maka Nabi SAW pun menshalatkannya" (HR al-Bukhari).
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW menegaskan, perbuatan menunda-nunda pembayaran utang ketika mampu menunaikannya, adalah terlarang. Beliau bersabda, "Menunda membayar utang bagi orang kaya (mampu) adalah kezaliman" (HR al-Bukhari dan Muslim).
Perkara utang negara
Lantas, bagaimana halnya dengan utang negara? Apakah seluruh penduduk negara itu ikut menanggungnya di hadapan Allah di akhirat kelak?
Seperti dikutip dari laman Pimpinan Pusat Muhammadiyah, utang negara tidak serta merta menjadi tanggung jawab tiap warga di akhirat. Dalam Islam, prinsip yang berlaku adalah bahwa “tidak ada seorang pun yang menanggung dosa orang lain.”
Allah SWT berfirman:
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya …” (QS an-Najm: 38–39).
Keputusan berutang, penggunaan dana pinjaman, serta besaran yang diambil bukanlah hasil keputusan warga negara secara personal atau individual. Itu adalah keputusan otoritas pemerintah.
Karena itu, beban moral dan pertanggungjawaban ukhrawi ada pada pihak yang berutang, yaitu pemimpin dan pengelola negara yang mengambil kebijakan tersebut.
Bagaimana dengan ungkapan semisal "tiap orang Indonesia---bahkan bayi yang baru lahir---menanggung utang negara sekian juta rupiah"?