Rabu 23 Jul 2025 14:33 WIB

Kisah Dokter Indonesia, Rela Tinggalkan Keluarga demi Misi Kemanusiaan di Gaza

Dr Leny Suardi, Sp.OG, dokter kandungan di Khan Yunis, menuturkan kisahnya.

Rep: Muhyiddin/ Red: Hasanul Rizqa
Dokter Leny Suardi, Sp.OG, dokter spesialis kandungan, yang dikirim BSMI ke Jalur Gaza, Palestina. Berfoto di RS an-Nassr, Khan Younis, Jalur Gaza, Juli 2025.
Foto: ist
Dokter Leny Suardi, Sp.OG, dokter spesialis kandungan, yang dikirim BSMI ke Jalur Gaza, Palestina. Berfoto di RS an-Nassr, Khan Younis, Jalur Gaza, Juli 2025.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah dentuman serangan udara militer Israel (IDF) dan tangis kelaparan warga Palestina korban genosida, seorang perempuan Indonesia memilih untuk tidak tinggal diam. Namanya adalah dr Leny Suardi, Sp.OG.

Dokter spesialis kandungan asal Kalimantan Utara (Kaltara) ini mengabdikan ilmunya di wilayah yang paling berbahaya sedunia: Jalur Gaza, Palestina. Dr Leny Sp.OG adalah satu dari enam orang relawan medis yang dikirim Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) ke sana.

Baca Juga

Bekerja sama dengan Rahma Worldwide, BSMI mulai memberangkatkan mereka ke Jalur Gaza pada 8 Juli 2025. Ia bertugas di Rumah Sakit (RS) an-Nasser, Khan Yunis, Gaza Selatan. Tugasnya adalah merawat ibu-ibu hamil walau di tengah kondisi perang dan krisis pangan yang parah dari hari ke hari.

Akibat serangan dan pengepungan yang dilakukan IDF, lebih dari dua juta orang penduduk Jalur Gaza mengalami nestapa dahsyat. Puluhan ribu orang kehilangan nyawa. Banyak di antaranya adalah anak-anak, ibu, dan orang tua.

Selama hampir 22 bulan, blokade Israel terhadap Jalur Gaza memicu krisis pangan dan wabah kelaparan. Ini berimbas besar pada kaum ibu dan bayi. Menurut dr Leny, mereka mengalami malnutrisi akut. Agresi zionis juga menyebabkan minimnya layanan kesehatan yang optimal di seluruh wilayah Palestina ini.

"Saya lihat di sini hampir semua ibu hamil ini mengalami malnutrisi. Jadi, pada kurus-kurus ibunya, kebutuhan nutrisi seperti zat besi itu sangat minim sekali," ujar dr Leny saat dihubungi Republika dari Jakarta, Rabu (23/7/2025).

Normalnya, para ibu hamil dianjurkan agar rutin mengonsumi daging, ikan, atau ayam sebagai sumber protein. Namun, imbauan ini tinggal harapan atau bahkan angan.

Genosida keji yang dilakukan Israel menyebabkan makanan amat langka dan mahal. Jangankan para ibu hamil. Relawan di lapangan pun kerap menahan perihnya rasa lapar.

photo
Ibu Palestina Alaa Al-Najjar memeluk jenazah bayinya yang berusia tiga bulan Yehia, yang meninggal karena kekurangan gizi di tengah krisis kelaparan, di Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, di Jalur Gaza, Palestina, Ahad (20/7/2025).  - (REUTERS/Hatem Khaled )

Panggilan hati

Sebelum bergabung dengan BSMI, dr Leny bertugas di Kabupaten Tanah Tidung, Kaltara. Perempuan kelahiran Palembang, Sumatra Selatan, ini mengaku sudah lama menyimpan niat untuk mengabdi di Palestina.

Bahkan, keinginan itu sudah ada sejak dirinya mengandung anak pertamanya pada tahun 2013. “Waktu itu, saya belum diizinkan suami. Tapi, keinginan itu tetap ada. Anak kedua saya bahkan saya beri nama ‘Gaza’,” ujar dokter yang berusia 39 tahun ini, mengenang.

Kesempatan akhirnya datang saat BSMI membuka pendaftaran misi kemanusiaan ke Jalur Gaza. Tanpa ragu, ia pun mendaftar.

Dengan dukungan penuh dari suami dan ketiga anaknya, dr Leny pun terbang ke Palestina. "Alhamdulillah kami berangkat dari Jakarta tanggal 8 Juli. Terus, transit di Amman (Yordania) sekitar tujuh jam. Kemudian setelah itu, baru masuk ke dalam Gaza tanggal 10 Juli," katanya.

Selama di Jalur Gaza, dr Leny setiap hari melayani pemeriksaan medis dan kehamilan. Ia juga mengurus proses persalinan. Namun, semua itu dilakukan dengan kegetiran. Sebab, RS an-Nasser seperti halnya seluruh wilayah Gaza tak henti dilanda serangan udara dan ledakan bom yang dilancarkan IDF.

"Jadi walaupun kami di dalam rumah sakit, ketika operasi ini diiringi dengan bunyi bom-bom itu. Sampai bergetar ruangan kamar operasi," ucapnya.

Hingga akhirnya, warga dan tenaga medis di rumah sakit ini sudah kebal. Tak ada lagi rasa takut. Mereka selalu saling mendukung dengan berkata, "Tenang, kalau pun meninggal, kita kembali ke Tuhan."

"Selama saya bertugas total persalinan di RS Nasser, bisa 15-20 persalinan, baik SC dan pervaginam. Saya berkolaborasi bersama dengan dokter kandungan lain, dengan bidan dan perawat serta residen yang ada di RS Nasser," jelasnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement