REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara resmi, penanggalan Hijriah mulai berlaku pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab. Tak ada banyak masalah bagi masyarakat Arab dalam menerima sistem kalender itu.
Sebab, Hijriah masih menerapkan penanggalan yang berdasarkan peredaran bulan terhadap bumi alias lunar calendar. Jauh sebelum syiar Islam muncul di Tanah Arab atau pra-Nabi Muhammad SAW, orang-orang Arab sudah akrab dengan tradisi qamariyah.
Dalam sistem Hijriah, Muharram pun tetap menjadi bulan pertama dari total 12 bulan yang ada. Jauh sebelum Nabi SAW lahir, orang-orang Arab juga sudah biasa menjadikan bulan tersebut sebagai permulaan tahun.
Muharram terletak sesudah Dzulhijjah, yakni bulan puncak pelaksanaan haji. Maknanya, ritual berziarah ke Baitullah itu menandakan akhir rentang masa satu tahun bagi masyarakat Arab.
Adapun hijrahnya Nabi Muhammad SAW terjadi bukan pada Muharram, melainkan Rabiul Awwal. Maka dari itu, awal tahun Hijriyah pada faktanya dimundurkan sekitar dua bulan ke belakang.
Sejak berlakunya konsensus pada era Khalifah Umar itu, perayaan Tahun Baru Islam (1 Muharram) selalu berkaitan dengan peristiwa historis hijrahnya Rasulullah SAW dan kaum Muslimin, yakni dari Makkah ke Yastrib (Madinah) pada Juni/Juli tahun 622 Masehi.
Menurut Dr Shawqi Abu Khalil, momentum hijrah terjadi ketika Rasulullah SAW—yang ditemani Abu Bakar ash-Shiddiq—keluar meninggalkan Gua Tsur pada Senin, 1 Rabiul Awwal. Dengan pertolongan Allah SWT, keduanya tiba di tujuan dengan selamat.
Rasul SAW dan Abu Bakar sampai di Madinah pada Jumat, 12 Rabiul Awwal (16 Juli 622 Masehi). Keterangan itu termuat dalam Hayatu Muhammad karya Muhammad Husain Haekal terjemahan Ali Audah.
