REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam" (HR Ibnu Majah). Begitu dalamnya arti ucapan dan peranannya bagi manusia, sehingga Rasulullah SAW menjadikan berucap baik sebagai ciri-ciri seorang Mukmin.
Sebab, ucapan adalah cermin kepribadian seseorang. Dalam hal ini, Allah memperingatkan, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengangkat suaramu di atas suara Nabi" (QS Al-Hujurat: 2).
Untuk menghindari salah-guna ucapan di dalam kehidupan bersama, Nabi SAW memberikan alternatif bijak yaitu diam.
Diam merupakan usaha yang paling minimal dari manusia tanpa menguras tenaga dan mengorbankan materi, bahkan tanpa pemikiran mendalam. Artinya, semua orang dapat melakukan diam tanpa terkecuali.
Petuah tentang diam ini punya tempat spesial dalam wacana etika Islam. Di dalam literatur akhlak-tasawuf, diam dibahas dalam bab khusus fadhilatus shamti (keistimewaan diam).
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam."
Islam tidak menyukai omongan yang kosong (QS ash-Shaff: 2) dan sangat mencela ucapan yang menyebabkan bencana karena lisan, seperti ghibah, fitnah, caci-maki, adu domba, dan kabar bohong.
Allah menegaskan dalam surat al-Hujurat ayat keenam, yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."
View this post on Instagram