REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam hidup ini, suka duka yang dialami seorang manusia senantiasa berputar. Suatu waktu, dia berada di kejayaan. Pada kurun lain, dirinya mengalami kejatuhan, semisal dibebani dengan besarnya utang.
Ajaran Islam tidak mengharamkan utang. Bagaimanapun, ada batasannya, yakni utang dan piutang tidak boleh disertai dengan riba. Ingatlah Alquran surah al-Baqarah ayat ke-276 yang artinya, "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa."
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seseorang yang terlilit utang. Dialah Abu Umamah, seorang Anshar. Di dalam masjid, dia tampak merenung dan gelisah. Rasulullah SAW kemudian mendekati dan menyapanya.
Beliau pun bertanya, "Wahai sahabatku, mengapa engkau tetap berada di dalam masjid ini, sementara kini bukan waktunya shalat?"
Untuk sesaat, yang ditanya bingung hendak menjawab apa. Dengan menarik nafas panjang, Abu Umamah pun menjelaskan, "Wahai Rasulullah, saya memang sedang cemas karena memikirkan besarnya utang yang melilit saya."
Mendengar jawaban itu, Nabi SAW tertegun. Keadaan Madinah saat itu belum begitu baik untuk urusan bisnis. Masih banyak kaum Anshar dan Muhajirin yang serba kekurangan sehingga terpaksa meminjam uang untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari.
View this post on Instagram
"Maukah engkau kuajari doa yang ketika engkau ucapkan dengan sungguh-sungguh, Allah SWT akan meniadakan kecemasanmu dan membuat utangmu terbayar?" kata Nabi SAW agar sahabatnya itu terhibur.