Jumat 28 Mar 2025 18:51 WIB

Syekh Yusuf al-Makassari, Pejuang Lintas Benua

Perjuangan Syekh Yusuf al-Makassari menggema hingga ke Afrika Selatan.

Syekh Yusuf al-Makassari.
Foto: tangkapan layar youtube
Syekh Yusuf al-Makassari.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari lahir di Moncong, Loe, Gowa, Sulawesi Selatan, pada 3 Juli 1626. Mengutip Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, ibundanya merupakan keturunan raja Gowa. Adapun ayahandanya berasal dari kalangan petani biasa yang taat beragama.

Makassar saat itu menjadi bagian dari Kesultanan Gowa. Islam tidak hanya diakui sebagai agama resmi. Istana mendukung dan melindungi alim ulama dalam menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Dalam situasi seperti itu, keluarga Muhammad Yusuf membesarkan anak-anaknya.

Baca Juga

Pada 1644 M, Muhammad Yusuf berangkat ke Jazirah Arab untuk menunaikan ibadah haji. Selama beberapa tahun, dirinya pun menetap di Tanah Suci guna menuntut ilmu-ilmu agama.

Setelah melakukan pengembaraan ilmu selama masa remaja di Makkah, Madinah, dan Hadramaut (Yaman), Syekh Yusuf, menurut sejumlah sumber, kembali ke Banten. Daerah di Pulau Jawa itu memang pernah menjadi tempatnya belajar ilmu agama. Kesultanan Banten sejak pertama kali dibentuk oleh Sunan Gunung Jati selalu tampil konfrontatif terhadap Belanda.

Di Jawa, Batavia (kini Jakarta) menjadi pusat bangsa Eropa itu dalam mengendalikan monopoli komoditas ekspor nusantara, khususnya rempah-rempah. Tidak jarang mereka memakai kekuatan militer sehingga Banten membalasnya setimpal dengan mengerahkan pasukan tempur. Kendati begitu, pertempuran antara keduanya juga diselingi gencatan senjata.

photo
Makam Syekh Yusuf al-Makassari di Gowa, Sulawesi Selatan. - (dok kemendikbud)

Jihad di Banten

Pangeran Dipati alias Sultan Ageng Tirtayasa termasuk golongan elite Banten yang membenci kesewenangan Belanda. Putra Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad itu tidak kenal lelah dan takut dalam melindungi negeri dan rakyatnya.

Syekh Yusuf al-Makassari diangkat olehnya menjadi mufti Kesultanan Banten. Pengangkatan itu berkaitan pula dengan peran muridnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Keduanya bertekad mengusir Belanda dari bumi nusantara.

Merespons kolaborasi ulama-umara itu, kompeni bermain licik dengan menerapkan politik pecah belah, devide et impera. Akibatnya, antarbangsawan di istana pun saling mencurigai. Puncaknya terjadi ketika Abdul Qahar alias Sultan Haji melawan ayah kandungnya sendiri, Sultan Ageng, untuk merebut kekuasaan.

Dalam perang saudara ini, Belanda membantu Sultan Haji. Hal itu di gambarkan Prof Titik Pudjiastuti dalam Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten.

Salah satu arsip koleksi yang ditelitinya menunjukkan perjanjian antara Sultan Haji dan pihak kompeni. Dokumen itu ditulis dengan bahasa dan aksara Jawa pada naskah kertas Eropa. Isinya menyebutkan, Sultan Haji meminta bantuan senjata dan tenaga kepada Belanda demi memerangi ayahnya sendiri kira-kira pada 1682.

Syekh Yusuf tentu berpihak pada Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan, ulama ini tampil berani di tengah medan pertempuran. Sayangnya, pada 14 Desember 1683 kubu Sultan Ageng terdesak. Syekh Yusuf yang kala itu berusia 57 tahun pun ditangkap pasukan Belanda. Satu tahun lamanya dia disekap di penjara Batavia. Pada September 1684, dia bersama dengan kedua istrinya, beberapa anak, dan belasan muridnya diasingkan ke Sri Lanka.

Pengasingan di sana tak bisa lama-lama. Sebab, Ceylon alias Sri Lanka sering disinggahi calon jamaah haji asal nusantara sebelum mereka sampai ke Arab.

Saat bermukim di pulau tersebut, Syekh Yusuf sering mengadakan kontak dengan mereka yang hendak menunaikan haji atau dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci. Belanda kemudian menyadari persinggahan jamaah haji ini berbahaya.

Orang-orang Muslim itu dapat memperoleh inspirasi dan bahkan strategi untuk memperkuat gerakan perlawanan di nusantara. Itulah salah satu pemantik haji-fobia di kalangan kolonial. Puncaknya, Belanda memberlakukan ordonansi haji pada 1859.

Orang pribumi pun kesulitan bila hendak menunaikan rukun Islam kelima. Dengan beleid itu, mereka yang pernah ke Masjid al-Haram harus melalui pendataan pemerintah kolonial. Bahkan, gelar haji akhirnya diberikan Belanda sebagai kamuflase belaka untuk memudahkan aktivitas spionase.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement