REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di sepanjang bulan Ramadhan, menjaga hati dan lisan menjadi sangat penting, terutama agar ibadah puasa tidak sekadar menahan lapar dan dahaga. Hati yang bersih dan lisan yang terjaga dari ghibah, fitnah, serta ucapan yang sia-sia akan membantu seseorang memelihara pahala shaum. Bahkan secara keseluruhan, Ramadhan semestinya benar-benar menjadi momen penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) sehingga hubungan dengan Allah (habluminallah) dan relasi dengan sesama manusia (habluminannas) dapat terwujud ideal.
Sekurang-kurangnya, seorang Mukmin harus menginsafi dirinya. Jangan sampai hati dan lisannya menjadi alat keburukan. Berikut ini adalah cara-cara yang bisa dilakukan agar hati dan lisan terjaga.
Jauhi prasangka
Hati yang keruh menjadi lahan subur untuk perasaan iri dan dengki. Dari sana, timbul syak wasangka yang tidak berdasar bukti yang kuat. Lebih parah lagi ketika emosi batin itu terlampiaskan. Hasilnya adalah dusta atau fitnah demi menjatuhkan nama baik orang lain.
Alquran menasihati kita. “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain.
Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang” (QS al-Hujurat: 12).
View this post on Instagram
Introspeksi diri
Umar bin Khattab berkata, “Perhitungkanlah diri kalian sebelum kalian dihitung. Timbanglah amal kalian sebelum perbuatan kalian ditimbang.” Sang fakih, Hasan al-Bashri pernah menyampaikan petuah, “Orang-orang yang paling mudah melalui masa penghitungan amal kelak pada hari kiamat adalah mereka yang semasa hidupnya senantiasa mengintrospeksi diri demi meraih ridha Allah.”