REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Masyarakat banyak yang mengisi libur panjang dengan berlibur, namun tidak sedikit yang mengeluh dengan adanya pungli berkedok parkir liar di tempat wisata, publik bahkan di tikungan-tikungan menuju lokasi wisata. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menanggapi keluhan masyarakat tersebut.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh menyoroti tugas aparat keamanan, karena ketertiban umum berkaitan erat dengan tugas aparat keamanan. Pungli berkedok parkir liar membuat masyarakat tidak nyaman dan mengganggu ketertiban.
"Salah satu tugas aparat adalah menjamin keamanan, kenyamanan, dan ketertiban umum masyarakat," kata Kiai Asrorun Niam melalui pesan singkat kepada Republika.co.id, Jumat (31/1/2025)
Kiai Asrorun Niam menegaskan, keberadaan pungli dan premanisme perlu ditertibkan oleh aparat keamanan sebagai bagian dari jaminan perwujudan rasa aman dan nyaman masyarakat.
Apalagi jika keberadaan para preman dan pelaku pungli tersebut mengganggu ketertiban dan menyebabkan kekhawatiran serta membahayakan.
"Tidak sedikit aktivitas mereka justru menyebabkan kemacetan serta membahayakan, dan menyebabkan potensi masalah sosial," ujar Kiai Asrorun Niam.
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Miftahul Huda menjelaskan bahwa praktik Pak Ogah atau jasa pengaturan lalu lintas tidak resmi perlu dilihat dari sudut pandang dan dampak yang diakibatkan.
"Pada dasarnya, praktik tolong-menolong dalam kebaikan itu sangat dianjurkan dalam syariat agama, dan jasa Pak Ogah adalah termasuk praktik tolong-menolong agar lalu lintas dapat berjalan dengan lancar," kata Kiai Miftahul Huda kepada Republika.co.id, Kamis (30/1/2025).
Kiai Miftahul Huda mengatakan, lalu bagaimana imbalan yang dipungut oleh Pak Ogah atau yang diberikan oleh pengguna kendaraan. Jika itu berjalan tanpa paksaan, kedua belah pihak saling ikhlas memberi atau menerima, maka tentu itu menjadi harta yang halal.
Dia menambahkan, akan tetapi tetap perlu mempertimbangkan dampak dari kegiatan tersebut. Jika kehadiran Pak Ogah itu menyebabkan kemacetan, kesemrawutan lalu lintas atau malah membahayakan diri sendiri atau pengguna jalan lain, maka praktik Pak Ogah ini masuk kategori kegiatan yang menimbulkan mudharat.
"Perbuatan yang menimbulkan mudharat itu dilarang oleh agama, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain," ujar Kiai Miftahul Huda.