REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Qatar menegaskan pada Selasa (28/1/2025) bahwa solusi dua negara adalah "satu-satunya jalan" bagi rakyat Palestina untuk mendapatkan hak-hak mereka.
"Posisi Qatar selalu jelas terkait pentingnya rakyat Palestina mendapatkan hak-hak mereka," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed al-Ansari, dalam konferensi pers di Doha.
"Solusi dua negara adalah satu-satunya jalan ke depan untuk mencapai tujuan itu," tambahnya saat menanggapi pertanyaan tentang seruan Presiden AS Donald Trump untuk merelokasi warga Palestina dari Gaza.
Solusi dua negara mengacu pada pembentukan dua negara, yaitu Palestina dan Israel, dan secara luas didukung oleh dunia Arab serta komunitas internasional.
Pada Sabtu lalu, Trump menyerukan untuk "membersihkan" Jalur Gaza dan merelokasi warga Palestina ke Yordania dan Mesir, menggambarkan wilayah tersebut sebagai "lokasi yang hancur" akibat perang genosida Israel.
Namun, Amman dan Kairo dengan tegas menolak setiap seruan untuk pemindahan atau relokasi warga Palestina dari tanah mereka.
Presiden AS itu mengatakan kepada wartawan pada Senin bahwa ia akan membahas isu tersebut dengan pemimpin otoritas Israel Benjamin Netanyahu, yang diperkirakan akan segera mengunjungi AS.
Proposal Trump muncul setelah kesepakatan gencatan senjata mulai berlaku di Gaza pada 19 Januari, dan menghentikan perang genosida Israel yang telah menewaskan lebih dari 47.300 warga Palestina, sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak, serta melukai lebih dari 111.000 orang sejak 7 Oktober 2023.
Serangan Israel juga menyebabkan lebih dari 11.000 orang hilang, dengan kehancuran besar-besaran dan krisis kemanusiaan yang telah merenggut banyak nyawa, termasuk para lansia dan anak-anak, dalam salah satu bencana kemanusiaan terburuk di dunia.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan pada November tahun lalu untuk Benjamin Netanyahu dan mantan kepala pertahanan Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas perang yang dilancarkan di wilayah tersebut.