REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Sang mujtahid paling cemerlang dari abad keenam Hijriyah itu menyempurnakan banyak legasi pendahulunya.
Ulama yang berasal dari Suku Kurdi itu tidak hanya mampu menggabungkan syariat dan tarekat secara teori, tetapi juga dalam ranah praktis aplikatif.
Sejarah mencatat, peran Syekh Abdul Qadir al-Jailani juga penting dalam meneruskan semangat dan gerakan Islah yang dirintis Imam al-Ghazali. Bermula dari dunia pendidikan, Islah itu lalu sukses menghasilkan generasi Islam yang bermental militan dan saleh. Di antara tokoh-tokoh dari generasi ini ialah sang pembebas Baitul Makdis, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Tentunya, Syekh Abdul Qadir al-Jailani berperan besar dalam perkembangan tasawuf begitu besar. Para pengkaji tasawuf, baik di Barat maupun Timur, sangat menaruh hormat kepadanya.
Tokoh itu dipandang sukses membumikan tasawuf bagi masyarakat Muslim hingga saat ini. Di Indonesia, kemasyhuran sang syekh begitu tinggi. Bahkan, namanya menjadi sarana wushuliyyah serta selalu disebut dalam berbagai acara keagamaan.
Ibnu Rajab Al Hanbali dalam Adz-Dzail 'alaa Thabaqat al-Hanabilah, menjelaskan bahwa Syekh Abdul Qadir bernama lengkap Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shalih Abdullah bin Jankiy.
Nasabnya sampai pada Nabi Muhammad SAW, baik melalui jalur ayah maupun ibundanya, yang masih keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Keajaiban menyertai masa kecil Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Dikisahkan, ibunya mendekati masa menopause jelang kelahiran putranya itu. Saat masih bayi, anak lelaki itu ikut berpuasa saat Ramadhan. “Anakku tidak mau menyusu sejak pagi hingga waktu Maghrib tiba tatkala bulan puasa,” kata sang ibunda.
View this post on Instagram