Ahad 15 Dec 2024 09:00 WIB

Bel untuk Buya Hamka dan Kisah-Kisah Lainnya

Buya Hamka ketat dalam mendidik anak-anaknya, terutama putri.

Buya Hamka
Foto: Dok. Muhammadiyah
Buya Hamka

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat jadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Hamka mendapat kantor di gedung baru di belakang Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Untuk Hamka, disediakan sebuah ruangan yang cukup besar dengan meja besar pula. Di meja ada sebuah bel. Ia boleh menekannya bila ingin memanggil stafnya, kalau perlu bantuan. Tapi ulama berdarah Minangkabau tersebut tak pernah menggunakan bel itu.

Walau sudah tua, Buya Hamka lebih senang mendatangi stafnya.

Baca Juga

"Mereka punya nama, kenapa kita panggil dengan bunyi tut tut listrik," katanya, memberi alasan.

Belakangan, Hamka kembali ke kebiasaan lama, yakni berkantor di rumahnya yang tak jauh dari masjid. Satu alasannya, ia capek mondar-mandir ke kamar ketua-ketua yang lain dan sekretaris MUI.

Anak perempuan

Buya Hamka ketat dalam mendidik putri-putrinya. Ia tak mau mereka bergaul di luar batas ajaran agama. Sering pula diperhatikannya putri-putrinya, apa saja yang mereka lakukan di luar dan dalam rumah.

Salah satunya menyangkut Aliyah. Hamka sering memperhatikan putri keduanya itu, yang sangat rajin belajar.

Putrinya itu menjadi guru bahasa Jerman di sebuah SMA di Jakarta walaupun belum menyelesaikan studi sarjana.

"Jadi doktoranda memang perlu cepat-cepat. Tapi jangan lama-lama meranda (tanpa suami),'' kata Hamka bergurau.

Pada suatu sore, saat berjalan-jalan dengan istrinya, Hamka melihat Aliyah berdiri menunggu bus di depan sekolah, dengan seorang laki-laki. "Tak salah itu Iyah," kata istrinya.

"Ya, tapi siapa di sebelahnya?" kata Hamka.

Malam harinya, saat makan malam---waktu yang sering menjadi konferensi keluarga--Ibu bertanya kepada Aliyah tentang laki-laki itu.

"Dia cuma rekan sesama guru," jawab Aliyah.

"Tidak ada apa-apa di balik itu?" tanya Hamka.

"Ayah dan ummi tak suka melihat kau berdiri atau berjalan dengan laki-laki, kecuali kalian bermaksud baik untuk berumah tangga," kata Ibu.

"Kau bawa saja ke sini, kenalkan kepada kami," timpal sang kepala keluarga.

Aliyah mencoba berdebat. "Ya, tapi kami belum membicarakannya sampai ke situ. Dia tentu akan malu ketemu ayah."

"Ayah maklum, tapi kalian bukan anak-anak kecil lagi. Kalian harus membicarakannya. Ayah beri waktu satu pekan," kata Hamka sambil mengetuk meja, tanda ia telah memutuskan.

Sepekan kemudian, pak guru muda itu, Sofyan Saad, datang ke rumah dan ngobrol-ngobrol dengan Hamka di beranda. Laki-laki itu lalu menikah dengan Aliyah walau keduanya belum menyelesaikan studi sarjana.

Meski begitu, mereka berhasil menamatkan studi. Pasangan ini memberikan tiga cucu laki-laki untuk Hamka.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Penerbit (@bukurepublika)

 

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement