REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aisyah RA menyaksikan dinamika umat Islam selepas wafatnya Rasulullah SAW. Tiga puluh tahun lamanya, Aisyah mengalami bagaimana pergantian kepemimpinan di bawah Khulafaur Rasyidin.
Dalam masa itu, Aisyah berperan penting dalam mendidik umat Islam, utamanya generasi muda. Ia juga mendirikan majelis ilmu untuk kaum Muslimah. Dari Aisyah pula, para sahabat mendapatkan pokok-pokok disiplin ilmu, semisal ilmu fikih, dan tafsir Alquran. Di tahun-tahun awal peradaban Islam, Aisyah termasuk jajaran intelektual Muslim mula-mula, selain Ali bin Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, dan Abdullah ibn Umar.
Kehidupan sederhana masih terus dijalaninya. Di malam ketika Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah, Aisyah hanya memiliki simpanan seadanya.
Bahkan, tidak terdapat minyak penyala lampu dan makanan di rumah beliau saat itu.
Kondisi mulai membaik di masa Khulafaur Rasyidin. Istri-istri Nabi SAW mendapatkan tunjangan dari negara. Aisyah bersikap hemat, tetapi tetap mengutamakan amal ibadah. Karena itu, ia jarang menahan uang tunjangan sampai keesokan hari. Sebab, kebanyakan uang itu sudah disedekahkannya kepada orang-orang yang dirasa lebih membutuhkan.
Sejarah mencatat, perpecahan serius umat Islam sempat terjadi. Itu ditandai dengan Perang Unta yang memperhadapkan antara kubu Aisyah RA dan Ali bin Abi Thalib. Nama peperangan tersebut merujuk pada fenomena Aisyah yang memimpin pasukannya sambil menunggangi untanya.
Pemicu bentrok ini adalah kasus pembunuhan atas Khalifah Utsman bin Affan oleh segerombolan massa yang merasa kepemimpinannya kurang tegas.
Aisyah hendak menuntut balas atas kematian sahabat Rasulullah SAW ini sehingga terpaksa melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, belakangan konflik lebih jauh terhindarkan karena baik Aisyah dan Ali memahami posisi keduanya sebagai terimbas skenario adu domba.
Setelah Perang Unta, masa-masa Khulafaur Rasyidin mulai berakhir. Tampuk kepemimpinan peradaban Islam berlanjut ke era Dinasti Umayyah yang berpusat tidak lagi di Madinah, melainkan Damaskus (Suriah). Aisyah RA tetap sebagai pribadi yang kritis terhadap kemunkaran. Bakatnya selaku orator ulung tidak lelah menyuarakan pembelaan atas kaum papa. Ia tidak segan-segan mengkritik Muawiyah bin Abi Sufyan.
Aisyah RA wafat pada 17 Ramadhan tahun 58 Hijriyah. Sepanjang hidup bersama Rasulullah SAW, ia tidak memperoleh anak. Namun, peninggalannya bagi umat Islam begitu berharga. Kepergiannya menimbulkan duka amat dalam bagi kaum Muslim saat itu. Sebab, mereka merasa kehilangan tempat bertanya tentang urusan agama. Aisyah juga dipandang sebagai sosok teladan.
Aisyah adalah ibu pendidik umat Islam, terutama di masa penuh bahaya selepas wafatnya Rasulullah SAW.