REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sufi adalah sebutan bagi mereka yang ahli ilmu tasawuf. Tasawuf merujuk pada ajaran untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Berprilaku sufi itu sebenarnya bertujuan mendidik hati agar betul-betul mengenal Allah. Dengan mengenal Allah, kita akan mendapatkan kelapangan dada dan hati yang bersih.
Dan, kelapangan dada serta bersih hati itu dalam praktik kehidupan sehari-hari akan memantulkan perilaku luhur. Sikap itu juga mewujud dalam kasih sayang yang tulus kepada semua makhluk Allah di muka bumi.
Seorang sufi, Abu Hasan asy-Syadzily, mengatakan: "Aku dipesan guruku jangan melangkahkan kaki kecuali untuk mencari keridhaan Allah dan jangan duduk di suatu tempat kecuali tempat itu aman dari murka Allah--misalnya tempat maksiat. Jangan bersahabat kecuali kepada orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Dan jangan memilih sahabat karib atau teman dekat kecuali ia menambahkan keyakinanmu terhadap Allah."
Ya, orang berperilaku sufi bukan berarti ia menjauhi untuk mencari kehidupan dunia. Ia tetap wajib mencari kehidupan harta dan rezeki Allah. Hanya saja, semua harta itu hendaknya diposisikan sebagai sarana ibadah kepada Allah.
Rasullah SAW menganjurkan agar jangan berlebih-lebihan mencintai harta. Sabda beliau, ''Cinta pada harta itu bisa menjadi bibit atau sumber segala dosa atau kejahatan.''
Orang boleh kaya di dunia ini, tetapi Nabi melarang jangan sampai mencinta dunia secara tidak proporsional. Nabiyullah Sulaiman AS adalah sebuah cermin, ia orang yang kaya raya di zamannya, tetapi tidak menjadikan kekayaan itu sebagai pujaan. Justru ia menjadikan harta kekayaan itu sebagai sarana menunjang ibadah kepada Allah SWT.
Hidup zuhud
Salah satu karakteristik sufi adalah zuhud. Ini tidak berarti keterbelakangan atau kemiskinan. Sebab, rumusnya bukan mengabaikan, tetapi tidak terbawa arus dunia. Mengutip Imam al-Junaid dalam Madarij as-Salikin, “Orang yang zuhud tidak menjadi bangga karena memiliki dunia dan tidak menjadi sedih karena kehilangan dunia.”
“Orang yang zuhud menunjukkan seluruh hidupnya untuk akhirat. Oleh karena itu, (dia) mengerjakan ibadah sebanyak mungkin dengan tidak memedulikan kesenangan dirinya. Ia memakan sekadar untuk hidup, dan memakai pakaian sekadar untuk menutupi auratnya,” demikian tulis Prof Dr H Aboebakar Aceh dalam buku Pendidikan Sufi: Sebuah Upaya Mendidik Akhlak Manusia.
Kaum sufi menjauh dari apa yang diistilahkan sebagai jah. Imam Ghazali berkata, jah adalah mencari kemasyhuran dengan sengaja untuk membesarkan diri.
Orang yang mengidap jah akan semakin puas apabila namanya populer. Sebaliknya, ia menjadi cemas apabila namanya kurang atau bahkan tak lagi diingat oleh publik luas.