REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam mengajak manusia untuk saling memaafkan dengan memberikan posisi tinggi kepada si pemberi maaf. Sebab, seperti dikemukakan dalam Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, sifat pemaaf merupakan bagian dari akhlak luhur.
الَّذِيۡنَ يُنۡفِقُوۡنَ فِى السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالۡكٰظِمِيۡنَ الۡغَيۡظَ وَالۡعَافِيۡنَ عَنِ النَّاسِؕ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الۡمُحۡسِنِيۡنَۚ
"(Yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan" (QS Ali Imran: 134).
Rasulullah SAW sendiri dikenal sebagai seorang yang pemaaf dan berlapang dada. Hal ini dapat kita buktikan pada saat pembebasan Kota Makkah. Ketika itu, Nabi SAW di hadapan orang-orang yang selama belasan tahun memusuhinya dan bahkan berupaya untuk menghilangkan nyawanya.
Kepada mereka, Rasulullah SAW berkata, "Wahai orang-orang Quraisy, menurut pendapat kalian, apa yang akan aku perbuat sekarang?"
Mereka menjawab, "Engkau adalah saudara kami yang pemurah, sepupu kami yang pemurah."
Mendengar jawaban itu, Nabi SAW berkata, "Pergilah kamu sekalian. Kamu sekarang sudah bebas!"
Dari peristiwa ini, kita melihat betapa luhur dan lapang dadanya Nabi SAW dalam memberikan maaf kepada mereka yang selama ini telah memusuhi, membenci, menghina, dan menyakitinya. Tanpa menunjukkan sedikit pun tanda-tanda kebencian maupun rasa ingin membalas dendam, pemaafan itu dilakukannya.
Padahal, ketika itu seluruh pasukan Muslimin siap melakukan apa saja yang diperintahkannya. Penulis biografi Nabi Muhamaad SAW, Muhammad Husain Haekal, mencatat Penaklukan Makkah sebagai pengampunan umum (amnesti) pertama di dunia.
Pernah Rasulullah, sebagai seorang komandan, menata sendiri dan menyusun barisan dalam Perang Badar. Beliau mendatangi seorang prajurit yang berdiri agak ke depan dari barisan pasukan. Rasul menekan prajurit tersebut dengan tongkatnya agar dia mundur sedikit ke belakang, sehingga barisan menjadi lurus.
Prajurit itu berkata, "Wahai Rasulullah, tongkat itu menyakiti perutku. Aku harus membalas!"
Rasulullah SAW memberikan tongkatnya kepada prajurit itu seraya berkata, "Balaslah!"
Orang itu maju ke depan dan mencium perut Nabi sambil berkata, "Aku tahu, bahwa aku akan terbunuh hari ini. Dengan cara ini aku menyentuh tubuhmu yang suci."
Belakangan dia menghambur ke depan, menyerang musuh dengan pedangnya, hingga syahid dalam Islam.
Sikap Nabi Muhammad SAW yang penyayang, penyantun, dan pengampun, menunjukkan bahwa beliau bukanlah manusia yang suka permusuhan.