REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Aktivis Muhammadiyah yang dikenal sebagai pegiat media sosial, Mustofa Nahrawardaya merenspos munculnya serangan berupa narasi menyesatkan kepada Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Ustadz Adi Hidayat (UAH). Serangan-serangan itu diantaranya ditayangkan lewat Channel Youtube Tarbiyah Daily yang mendeklarasikan diri sebagai akun untuk meng-counter pemahaman yang dapat merusak kemurnian Islam.
Nahra mengaku sudah lama melihat pola Persyarikayan Muhammadiyah dalam menghadapi masalah-masalah seperti ini. Menurut dia, hampir semua putusan kolektif kolegial dalam setiap hasil muktamar, memiliki sistem yang sama dalam memutuskan sesuatu.
"Maka saya dapat menduga Muhammadiyah tidak bakal melaporkan akun-akun seperti itu ke polisi. Muhammadiyah, tak biasa ngadu-ngadu atau merengek-rengek ke pihak berwajib, setidaknya sampai hari ini," ujar Nahra kepada Republika, Senin (7/10/2024).
Menurut dia, Muhammadiyah mungkin hanya mendesak dan mendorong kepada pihak berwajib untuk menangani jika dampak dari kasus tersebut dirasakan banyak orang.
Nahra menjelaskan, saat ini memang banyak akun-akun di medsos yang gratisan, mengatasnamakan akun "Sunnah". Mereka melakukan kontra opini UAH khususnya, maupun kebijakan Muhammadiyah mutakhir.
"Karena sesungguhnya pada intinya UAH sebagai wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, maupun kebijakan Muhammadiyah dianggap tidak sejalan dengan visi gerombolan mereka," ucap Nahra.
Saat ini, lanjut dia, akun-akun seperti Tarbiyah Daily bermunculan bak jamur di musim hujan. Ada ciri khas mereka, yakni dengan karakter perilaku keagamaan yang kaku dan keras dan bahkan tidak ada kompromi. Menurut Nahra, gerombolan ini sangat berbahaya.
Dia menduga, gerombolan ini tidak bisa hidup sendiri, tapi ada yang men-support. Mereka juga tak punya organisasi. "Namun ingat, ada saatnya gerombolan garis keras seperti itu memang hidup (tepatnya dibiarkan hidup), namun pada saatnya nanti, ketika dirasa cukup kehidupannya, cukup manfaatnya, maka gerombolan mereka bakal 'diakhiri'," kata Nahra.
"Fase ini berulang-ulang ada, bisa kita lihat dalam berita-berita ya. Ingat bagaimana HTI, FPI, atau kelompok ormas lain, dibiarkan hidup, namun jika dirasa sudah selesai manfaatnya, mereka dicabut nyawanya," jelas Nahra.