Selasa 01 Oct 2024 21:35 WIB

Soal Tuak dan Wine Halal, Halal Corner: BPJPH Kalau Salah Minta Maaf

Penetapan Halal tersebut menyalahi standar fatwa MUI.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Bentuk logo halal yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag).
Foto: Kemenag
Bentuk logo halal yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Viralnya produk wine, beer, tuak dan tuyul yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Menanggapi hal tersebut, Founder Halal Corner, Aisha Maharani mengatakan bahwa kalau BPJPH salah seharusnya klarifikasi dan minta maaf, bukan melakukan takedown.

"Yang terjadi dan yang saya sayangkan dari BPJPH main takedown, seharusnya ada klarifikasi, kemudian kalau salah minta maaf, orang Indonesia itu pemaaf kok," kata Aisha kepada Republika, Selasa (1/10/2024)

Baca Juga

Aisha mengungkapkan, dirinya sudah menyampaikan kepada pihak-pihak terkait bahwa sebenarnya halal self-declare tidak diperlukan. Mungkin bagi pelaku usaha, halal self-declare seperti surga, dimudah-mudahkan karena tidak ada audit dan hanya sekadar verifikasi serta klaim bahan. Halal self-declare tidak ada manual sistem jaminan halal, hanya foto bersama kemudian selesai. Lepas dari itu, pengawasan atau konsistensi dari pelaku usaha tidak ada.

Misal pelaku usaha beli ayam, ayamnya harus sertifikasi halal. Kemudian pelaku usaha beli ayam dari di toko-toko unggas yang sudah ada sertifikasi halal, hanya pada saat itu untuk dapat sertifikat halal. Setelah dapat sertifikat halal, ditemukan di lapangan tidak memakai ayam yang halal, mereka belinya di pasar yang tidak jelas apakah daging ayamnya halal.

"Jadi metode ini (halal self-declare) memang tidak laiak untuk dipertahankan, kalau dulu saya masih menimbang-nimbang karena kasihan sudah ada P3H, mereka juga kerjanya ada yang ikhlas, tapi ada oknum juga, tetapi dalam sistem harus melihat dari KPI (Key Performance Indicator) yang berlaku kemudian bagaimana sistem itu berjalan," ujar Aisha.

Ia menegaskan, metode halal self-declare sudah tidak layak digunakan, karena industri itu tidak hanya penjual gorengan dan sekelas kantin. Industri itu luas, apalagi ketika kategori halal self-declare ini diperluas ke roti, es krim, dan catering. Ini sudah melampaui dari kewenangan yang ada.

"Contoh yang saya temukan ketika jadi juri, ada kedai bakso yang dia dapat sertifikat halal self-declare, padahal itu tidak boleh, daging-daging harus kategorinya reguler, ada audit," ujarnya.

Aisha menceritakan bahwa dirinya bertanya ke penjual bakso itu, apakah menggiling dagingnya di penggilingan bersama atau tidak. Penjual bakso itu menjawab menggunakan penggilingan daging bersama. Padahal tidak boleh pakai penggilingan daging bersama yang tidak jelas apakah ada daging yang haram digiling di situ juga.

Sebelumnya, merespons laporan masyarakat terkait tuak, wine dan beer halal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melakukan konfirmasi, klarifikasi dan pengecekan. MUI langsung melakukan investigasi dan menggelar pertemuan untuk mencari titik terang atas kasus ini. 

Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh memimpin pertemuan yang dilaksanakan secara hybrid di Kantor MUI pada Senin, (30/9/2024) sore.

Dari hasil investigasi dan pendalaman, terkonfirmasi bahwa informasi tersebut valid, produk-produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur Self-Declare, tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI.

“Penetapan Halal tersebut menyalahi standar fatwa MUI, juga tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Karena itu MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut,” kata Kiai Niam.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement