Sabtu 21 Sep 2024 10:21 WIB

Hikmah Sufi: Jangan Khawatirkan Rezeki

Inilah kisah seorang hartawan yang kemudian menempuh jalan hidup zuhud dan sufi.

Sufi (ilustrasi)
Foto: Dok Republika
Sufi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tasawuf merupakan suatu jalan yang bertujuan mendekatkan diri seorang insan dengan Tuhannya. Salah seorang tokoh sufi yang dikenal dalam sejarah Islam ialah Imam Syaqiq al-Balkhi. Sebagai anak seorang hartawan, dirinya dapat meraih berbagai kenikmatan duniawi secara instan. Akan tetapi, hiruk-pikuk dunia pada akhirnya tak menarik hatinya.

Kecenderungannya pada jalan salik bermula dari ekspedisi niaga yang ditempuhnya. Waktu itu, pebisnis muda nan kaya raya ini sedang menuju ke Turki untuk keperluan dagang. Belum sampai tujuan, dirinya singgah di sebuah daerah.

Baca Juga

Didorong rasa penasaran, Syaqiq al-Balkhi lantas memasuki sebuah kuil tempat penyembahan berhala. Di dalamnya, ia menemukan banyak sekali patung berwujud tokoh-tokoh yang hidup di masa silam.

Sementara, di depan patung-patung itu tampak puluhan rahib yang berkepala botak dan tidak berjanggut. Mereka semua sedang menyembah benda-benda tak bernyawa itu.

Syaqiq lalu menghampiri seorang dari mereka dan berkata, “Untuk apa kamu bersujud pada berhala? Padahal, kamu diciptakan oleh Zat Yang Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha kuasa. Sembahlah Allah, jangan menyembah patung-patung yang tidak memberikan manfaat ataupun mudarat kepadamu!”

Rahib yang diajaknya bicara hanya diam sesaat, lalu menjawab ringan, “Kalau benar bahwa Tuhan yang Anda sebut itu Maha Kuasa memberikan rezeki bahkan di negerimu sendiri, mengapa Anda jauh-jauh datang ke sini untuk berniaga?”

Mendengar perkataan itu, Syaqiq terkejut. Begitu keluar dari biara itu, hatinya seperti terguncang. Baru kali ini dirinya sadar, selama ini terlalu mengejar dunia dan seolah-olah mengabaikan Allah. Padahal, Dialah Zat Yang Maha Pemberi rezeki. Sejak itu, ia berupaya zuhud terhadap dunia. Ia mulai menyelami tasawuf seutuhnya.

Pada awal-awal perjalanannya sebagai seorang sufi, Syaqiq pun menjumpai kejadian lain. Di suatu daerah, ia berpapasan dengan seorang budak yang asyik bersenang-senang. Padahal, daerah tersebut waktu itu sedang dilanda kemarau berkepanjangan. Paceklik terjadi lama sehingga krisis ekonomi merajalela.

Syaqiq begitu heran dengan keceriaan yang tampak di wajah sang budak. Akhirnya, ia pun menyapa dan berbicara dengannya.

“Kesenangan apa yang sedang kamu lakukan ini? Bukankah orang-orang sedang dilanda kesusahan karena paceklik?” tanyanya.

“Tuan, mereka mungkin mengalami paceklik. Tapi, saya tidak,” jawab si budak dengan polosnya.

“Apa maksudmu?”

“Tuan, majikanku memiliki kebun yang subur di suatu perkampungan di luar sana. Hasilnya sanggup untuk mencukupi keperluannya dan budak-budaknya,” jelas budak tersebut.

Perkataan budak itu langsung mengetuk nuraninya. Dalam hati, Syaqiq bergumam, “Budak ini tidak khawatir akan rezekinya karena merasanya majikannya masih punya kebun yang subur. Padahal, baik dirinya maupun si majikan hanyalah manusia. Maka patutkah seorang hamba Allah mengkhawatirkan rezekinya, padahal ia punya Tuhan Yang Maha Kaya lagi Mahapemurah?” 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement